facebook rss daftar isi halaman depan

Laman

Rabu, 22 Juni 2011

natal dan maulid nabi

Natal

Tidak di ketahui secara pasti kapan Nabi Isa Dilahirkan, walaupun para penganut Kristiani mengklaim bahwa kelahiran Al Masih adalah tanggal 25 Desember namun keyakinan itu sama sekali tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara pasti. Yang jelas Nabi Isa dilahirkan pada musim panas, sebagaimana dikisahkan dalam Al Qur’an bahwa setelah melahirkan putranya, sang ibu Maryam bersandar di sebuah pohon kurma lalu di wahyukan kepadanya agar menggoyang batang kurma itu,maka berjatuhanlah rutob dari atas pohon tersebut. Rutob adalah buah korma yang telah masak (empuk), dan buah kurma tidak akan bisa matang jika tidak ada angin panas yang bertiup. Jika ada yang berkeya-kinan bahwa Nabi Isa lahir pada musim salju (dingin) maka itu adalah salah.

Jangankan sampai sedetil tanggal lahirnya, tahun kelahirannya saja antara Biebel dan pencetus kalender Masehi yang dipakai saat ini ada perbedaan. Dalam Matius sebutkan bahwa Isa dilahirkan pada masa raja Herodas dari Roma. Sementara itu para pakar sejarah mereka mengatakan bahwa raja Herodas mati pada tahun 4 sebelum Masehi, artinya 4 tahun sebelum kelahiran nabi Isa. Jika Biebel memang benar maka seharusnya tahun Masehi (yang sekarang 2001) seharusnya sudah 2005. dan jika yang benar adalah pencipta kalender maka Bibel (kitab suci) mereka yang salah. Ada kemung-kinan juga kedua-duanya salah, dan tidak mungkin keduanya benar.

Sistem Kerahiban dan Taklid Buta

Sungguh kacaunya sebuah agama disebabkan karena sumber asli (kitab suci) dari agama tersebut telah diacak-acak dan diputar balikan oleh orang-orang yang menamakan dirinya atau dinamai ahli ilmu dan ahli ibadah. Dengan seenaknya orang-orang semacam ini membuat fatwa dan hukum yang menyelisihi sumber otentik dari agama itu sendiri. Mereka dianggap sebagai wakil Tuhan dan orang suci yang tidak punya salah atau ma’shum. Sehingga ucapan mereka ibarat wahyu yang harus ditaati meskipun itu mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

Jika demikian maka ini berarti telah menjadikan orang alim (baik itu ulama, pendeta, rahib dan sebagainya) sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Mungkin mereka beralasan dengan mengatakan: “Kami kan tidak menyembah mereka!” Alasan serupa juga pernah disampaikan oleh seorang Ahlu Kitab yang masuk Islam, Adiy bin Hatim, tatkala ia mendengar Nabi Shallallaahu alaihi wa salam membaca firman Allah, yang artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. 9:31)

Mendengar pembelaan diri dari Adiy, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa salam lalu bertanya: “Tidaklah mereka itu mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah lalu kamu pun mengharamkannya? Dan tidaklah mereka itu menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah lalu kamupun (ikut) menghalalkannya?”

Semua pertanyaan Nabi Shallallaahu alaihi wa salam dibenarkan oleh Adiy, maka beliaupun bersabda: “Itulah ibadah (penyembahan) kepada meraka.” (HR. Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dengan mengatakan hasan)

Fenomena seperti ini ternyata juga merebak di kalangan kaum muslimin dimana masih banyak diantara mereka terjebak dalam kultus Individu, menganggap wali ma’shum terhadap seseorang yang segala tingkah laku dan ucapannya tidak boleh disalahkan, dengan alasan takut kuwalat (tertimpa bencana), atau beranggapan mereka memiliki maqom (kedudukan) yang tidak bisa dimengerti dan dicapai orang awam.

Demikianlah sistem kerahiban dalam agama Nashara telah menjadikan penganutnya dicap Allah sebagai orang dhoollin (sesat). Sistem ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat Al Hadid ayat 27 merupakan perkara yang diada-adakan dan sama sekali tidak pernah diperintahkan oleh Allah. Artinya: “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang yang fasik.” (QS. 57:27)

Dengan kata lain mereka telah membuat bid’ah dalam tata cara agama mereka, sehingga mereka menjadi sesat. Oleh karena itu Rasulullah, jauh-jauh sudah mengingatkan, agar Islam terjaga kemurniannya maka beliau bersabda, yang artinya: “Setiap hal yang baru (dalam urusan agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).

Bagaimana Dengan Maulid Nabi SAW?

Maulid (peringatan Hari kelahiran) Nabi Shallallaahu alaihi wa salam sudah menjadi tradisi bagi sebagian besar kaum muslimin di Indonesia. Hari tersebut dianggap sebagai hari besar (hari raya) yang harus diperingati secara rutin tiap tahun. Peringatan secara rutin dan terus menerus dalam istilah Arab disebut dengan Ied, sedang kalau kita mau meneliti dalam kitab-kitab hadits bab tentang hari raya disana biasanya tertulis Kitabul Idain (kitab tentang dua hari raya atau hari besar), maksudnya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Dari sini jelas sekali bahwa hari Besar dalam Islam yang diperingati secara rutin tiap tahun hanya ada dua hari saja. Sekiranya ada hari besar lain yang waktu itu dirayakan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, tentu kaum muslimin mulai zaman shahabat, tabiin dan tabiut-tabiin sudah lebih dahulu melakukannya. Sebagaimana mereka merayakan Idain secara mutawatir, tanpa ada khilaf, dan sudah barang tentu juga dijelaskan adab-adabnya dan bagaimana prakteknya.

Sedangakan dalam tinjauan syar’i peringatan maulid Nabi sebagaimana di kemukakan syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullaah dalam kitabnya At Tahdzir minal Bida’, adalah merupakan hal baru dalam Islam, yang tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah, para shahabat dan tabi’in. Ada beberapa alasan mengapa beliau tidak memperbolehkan peringatan semacam ini

· Pertama: merupakan amalan baru yang tertolak, sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa salam, yang artinya: “Barangsiapa mengada-adakan (sesuatu hal baru) adalam urusan (agama) kami, yang bukan merupakan ajarannya maka akan ditolak” (Muttafaq Alaih).

· Kedua: Menyelisihi Sunnah Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Nabi Shallallaahu alaihi wa salam bersabda, artinya: “Kamu semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al-Qur’an) dan sunnah khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk Allah setelahku.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi).

· Ketiga: Mengambil ajaran bukan dari Nabi Shallallaahu alaihi wa salam, Firman Allah. artinya:“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. 59:7)

· Keempat: Tidak pernah dicontohkan dan diteladankan oleh Nabi Shallallaahu alaihi wa salam padahal sebisa mungkin kita harus meneladani beliau, Firman Allah, artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. 33:21)

· Kelima: Agama Islam telah sempurna tidak perlu penambahan ajaran baru lagi. Firman Allah, artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS. 5:3)

· Keenam: Bahwa Rasulullah telah menunjukan seluruh kebaikan kepada umatnya dan telah memperingatkan dari kejahatan yang beliu ketahui, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim. Beliau tidak pernah memberi petunjuk tentang peringatan maulid ini, bahkan sebaliknya memperingatkan dari perkara-perkara baru dalam Islam.

· Ketujuh: Membuat ajaran baru dalam Islam merupakan seburuk-buruk perkara, sebagaiaman penggalan sabda beliau Shallallaahu alaihi wa salam dalam sebuah khutbahnya, yang artinya: “ Dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) ialah yang di ada-adakan (bid’ah), dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim)

· Kedelapan: Merupakan sikap tasyabuh (meniru-niru) ahli kitab dari kaum Yahudi dan Nashrani dalam hari-hari besar mereka.

Belum lagi jika dalam acara tersebut terdapat ghuluw (sikap berlebihan) terhadap Nabi Shallallaahu alaihi wa salam misalnya berkeyakinan kalau Nabi datang dalam acara tersebut dan bisa menjawab do’a, ikhtilath yaitu bercampur baur pria dan wanita yang bukan muhrim, atau diselingi dengan pentas musik dan sebaginya.

Kalau kita selidiki kedua kasus di atas baik itu natal maupun maulid Nabi Shallallaahu alaihi wa salam, ternyata sumber kekeliruannya adalah sama yaitu Niat baik yang salah cara penyalurannya. Padahal Islam telah mengajarkan bahwa suatu amal dikatakan Shalih dan akan diterima oleh Allah selain diniatkan dengan ikhlas juga harus mengikuti cara dan petunjuk yang dibawa oleh Nabi Shallallaahu alaihi wa salam. Karena kalau kita lihat dalam Al-Qur’an, orang kafir yang dikatakan oleh Allah sebagai orang yang paling rugi amalnya ternyata dikarenakan salah prediksi (perkiraan). Mereka sangka apa yang mereka lakukan adalah kebaikan-kebaikan sebagaimana yang mereka niatkan, padahal sebenarnya adalah kesesatan, firman Allah, artinya: “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. 18:103-104)

Janganlah kita seperti mereka, cocokkan cara ibadah kita dengan cara ibadah Nabi Shallallaahu alaihi wa salam dan para sahabatnya, dan sertailah dengan niat ikhlas karena Allah.

Sumber: – Waspada Terhadap Bid’ah, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Yayasan Al-Sofwa, cet. 2, 1997.
- Kitab Tauhid, Syaikh At-Tamimi.
- Benarkah Al-Qur’an mengatakan Bibel Sudah Berubah?, HM. Thaha Suhami, Yayasan Kebangkitan Kaum Muslimin.
- Al-Qur’an dan Terjemahannya, cetakan Madinah Munawwarah.

Dikutip dari : Buletin Annur Dipublikasikan oleh : mesujiraya.blogspot.com
baca - natal dan maulid nabi

Pencetus Pertama Maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam

Oleh : Abu Abdirrahman Bin Thoyyib Lc.

A. Sejarah Perayaan Maulid

Diantara perayaan-perayaan bid’ah yang diadakan oleh kebanyakan kaum muslimin adalah perayaan maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-. Bahkan maulid Nabi ini merupakan induk dari maulid-maulid yang ada seperti maulid para wali, orang-orang sholeh, ulang tahun anak kecil dan orang tua. Maulid-maulid ini adalah perayaan yang telah di kenal oleh masyarakat sejak zaman dahulu. Dan perayaan ini bukan hanya ada pada masyarakat kaum muslimin saja tapi sudah di kenal sejak sebelum datangnya Islam. Dahulu Raja-Raja Mesir (yang bergelar Fir’aun) dan orang-orang Yunani mengadakan perayaan untuk Tuhan-Tuhan mereka,[1] demikian pula dengan agama-agama mereka yang lain.

Lalu perayaan-perayaan ini di warisi oleh orang-orang Kristen, di antara perayaan-perayaan yang penting bagi mereka adalah perayaan hari kelahiran Isa al-Masih -alaihi salam-, mereka menjadikannya hari raya dan hari libur serta bersenang-senang. Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat makanan-makanan khusus serta mengadakan hal-hal yang diharamkan.

Kemudian sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada agama Islam ini menjadikan hari kelahiran Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- sebagai hari raya yang diperingati seperti orang-orang Kristen yang menjadikan hari kelahiran Isa al-Masih sebagai hari raya mereka. Maka orang-orang tersebut menyerupai orang-orang Kristen dalam perayaan dan peringatan maulid Nabi yang diadakan setiap tahun.

Dari sinilah asal mula maulid Nabi sebagaimana yang dikatakan oleh as-Sakhawi : “Apabila orang-orang salib/kristen menjadikan hari kelahiran Nabi mereka sebagai hari raya maka orang Islam pun lebih dari itu” (at-Tibr al-Masbuuk Fii Dzaiissuluuk oleh as-Sakhawi)

Inilah teks penyerupaan dengan orang-orang Kristen. Sesungguhnya perayaan maulid Nabi ini menyerupai orang-orang Kristen, padahal “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum itu” (HR. Abu Daud, Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwaul Gholil 5/109.) Dan inilah yang dikabarkan serta yang dikhawatirkan oleh Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-: “Sesungguhnya kalian akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian sedikit demi sedikit sampai seandainya mereka masuk kelubang biawak kalian juga akan mengikuti mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

B. Siapa Orang Pertama Yang Mengadakan Maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- Dalam Sejarah Islam?

Para Ulama yang mengingkari perayaan bid’ah ini telah sepakat, demikian juga dengan orang-orang yang mendukung acara bid’ah ini bahwa Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- tidak pernah merayakan maulidnya dan juga tidak pernah menganjurkan atau memerintahkan hal ini. Para sahabat beliau, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang merupakan orang-orang terbaik umat ini serta yang paling bersemangat mengikuti Sunnah Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- mereka semuanya tidak pernah merayakan maulid.

Tiga generasi umat Islam yang telah di rekomendasi oleh Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- berlalu dan tidak di temui pada saat-saat itu perayaan-perayaan maulid ini. Tapi ketika Daulah Fatimiyyah di Mesir berdiri pada akhir abad keempat muncullah perayaan atau peringatan maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- yang pertama dalam sejarah Islam,[2] sebagaimana hal ini dikatakan oleh al-Migrizii [3] dalam kitabnya “Al-Mawa’idz wal i’tibar bidzikri al-Khuthoth wal Aatsar” : Dahulu para Kholifah/penguasa Fatimiyyin selalu mengadakan perayaan-perayaan setiap tahunnya, diantaranya adalah perayaan tahun baru, Asy-Syura, Maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-, Maulid Ali bin Abi Thalib a, Maulid Hasan dan Husein, Maulid Fatimah dll. (Al-Khuthoth 1/490)

C. Kilas Balik Pelopor Pertama Maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-

Pada tahun 317 H muncul di Maroko sebuah kelompok yang di kenal dengan Fatimiyyun (pengaku keturunan Fatimah binti Ali bin Abi Tholib) yang di pelopori oleh Abu Muhammad Ubeidullah bin Maimun al-Qoddah. Dia adalah seorang Yahudi yang berprofesi sebagai tukang wenter, dia pura-pura masuk ke dalam Islam lalu pergi ke Silmiyah negeri Maroko. Kemudian dia mengaku sebagai keturunan Fatimah binti Ali bin Abi Tholib dan hal ini pun di percaya dengan mudah oleh orang-orang di Maroko hingga dia memiliki kekuasaan.

Ibnu Kholkhon[4] berkata tentang nasab Ubeidillah bin Maimun al-Qoddah : “Semua Ulama sepakat untuk mengingkari silsilah nasab keturunannya dan mereka semua mengatakan bahwa, semua yang menisbatkan dirinya kepada Fatimiyyun adalah pendusta. Sesungguhnya mereka itu berasal dari Yahudi dari Silmiyah negeri Syam dari keturunan al-Qoddah. Ubeidillah binasa pada tahun 322 H, tapi keturunannya yang bernama al-Mu’iz bisa berkuasa di Mesir dan kekuasan Ubeidiyyun atau Fatimiyyun ini bisa bertahan hingga 2 abad lamanya hingga mereka dibinasakan oleh Sholahuddin al-Ayubi pada tahun 546 H.” [5]

Perlu diketahui bahwa Maimun al-Qoddah ini adalah pendiri madzhab/aliran Bathiniyyah yang didirikan untuk menghancurkan Islam dari dalam. Aqidah mereka sudah keluar dari Islam bahkan mereka lebih sesat dan lebih berbahaya dari Yahudi dan Nasrani. Tidak ada yang bisa membuktikan akan hal ini kecuali sejarah mereka yang bengis dan kejam terhadap kaum muslimin, diantaranya : pada tahun 317 H ketika mereka telah sangat berkuasa dan bisa sampai ke Ka’bah mereka membunuh jama’ah haji yang sedang berthowaf pada hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah). Mereka jadikan Masjid Haram dan Ka’bah lautan darah di bawah kepemimpinan dedengkot mereka Abu Thohir al-Janaabi.

Abu Thohir ketika pembantaian ini duduk di atas pintu Ka’bah menyaksikan pembunuhan terhadap kaum muslimin/jama’ah haji di Masjid Haram dan dibulan haram/suci. Dia mengatakan : “Akulah Allah, Akulah Allah, Akulah yang menciptakan dan Akulah yang membinasakan” -Mahasuci Allah dari apa yang ia katakan -. Tidak ada seorang yang thowaf dan bergantung di Kiswah Ka’bah melainkan mereka bunuh satu persatu.

Setelah itu mereka buang jasad-jasad tersebut ke sumur zam-zam. Dan mereka cungkil pintu Ka’bah dan mereka sobek kiswah Ka’bah serta mereka ambil hajar aswad dengan paksa. Pemimpin mereka (Abu Thohir) ketika melakukan hal tersebut dia mengatakan : “Dimana itu burung (Ababil), mana itu batu-batu yang (di buat melempar Abrahah)???” Mereka menyimpan hajar aswad di Mesir selama 22 tahun.[6] Ini adalah gambaran singkat kekufuran Bathiniyyah

D. Bagaimana Pendapat Ulama Tentang Kelompok Bathiniyyah (Fatimiyyun)???

Imam Abdul Qohir al-Baghdady (meninggal tahun 429 H) -rahimahullah- berkata : “Madzhab Bathiniyyah bukan dari Islam, tapi dia dari kelompok Majusi (penyembah api)[7]. Beliau juga berkata : “Ketahuilah bahwa bahayanya Bathiniyyah ini terhadap kaum muslimin lebih besar dari pada bahayanya Yahudi, Nasrani, Majusi serta dari semua orang kafir bahkan lebih dahsyat dari bahayanya Dajjal yang akan muncul di akhir zaman.” [8]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- mengatakan : “Sesungguhnya Bathiniyyah itu orang yang paling fasik dan kafir. Barangsiapa yang mengira bahwa mereka itu orang yang beriman dan bertakwa serta membenarkan silsilah nasab mereka (pengakuan mereka dari keturunan ahli bait/Ali bin Abi Tholib,-pent) maka orang tersebut telah bersaksi tanpa ilmu. Allah berfirman :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya” (QS. Al-Isra: 36)

Dan Allah berfirman :

“Kecuali orang yang bersaksi dengan kebenaran sedang dia mengetahui” (QS.Az-Zukhruf : 86)

Para Ulama telah sepakat bahwa mereka adalah orang-orang zindik dan munafik. Mereka menampakkan ke-Islaman dan menyembunyikan kekufuran. Para Ulama juga sepakat bahwa pengakuan nasab mereka dari silsilah ahlul bait tidaklah benar. Para Ulama juga mengatakan bahwa mereka itu berasal dari keturunan Majusi dan Yahudi. Hal ini sudah tidak asing lagi bagi Ulama dari setiap madzhab baik Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, maupun Hanabilah serta ahli hadits, ahli kalam, pakar nasab dll (Majmu Fatawa oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 35/120-132)

Kesimpulan :

Jadi pelopor bid’ah maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- adalah kelompok Bathiniyyah [9] yang mereka mempunyai cita-cita untuk merubah agama Islam ini dan memasukkan hal-hal yang bukan dari agama agar menjauhkan kaum muslimin dari agama yang benar ini. Menyibukkan manusia dari bid’ah (perayaan-perayaan bid’ah seperti maulid) adalah salah satu jalan yang mudah untuk mematikan Sunnah Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- dan menjauhkan manusia dari syari’at Allah. [10]

——————————————————-

1. Al-Adab Al-Yunaani Al-Qodim…oleh DR Ali Abdul Wahid Al-Wafi hal. 131.
2. Al-A’yad wa atsaruha alal Muslimin oleh DR. Sulaiman bin Salim As-Suhaimi hal. 285-287.
3. Dia adalah pendukung kelompok Ubeid Al-Qoddah (Ubeidyyin). Dia bernama Ahmad bin Ali bin abdul Qodir bin Muhammad bin Ibrahim al-Husaini al-Ubeidi. Lahir pada tahun 766 H.
4. Dia adalah Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Kholkhon, pengikut madzhab Syafi’i. Dia dilahirkan tahun 608 H. Seorang ahli sastra Arab dan penyair. Beliau meninggal pada tahun 681 H dan disemayamkan di Damaskus (Pent).
5. Lihat Firoq Mu’ashiroh oleh DR Gholib Al-’Awajih 2/493-494. Perlu diketahui bahwa kelompok Bathiniyah ini memiliki beberapa nama / sekte. Diantaranya : Nushairiyah, Duruz, Qoromithoh (Ubeidiyyin/Fathimiyyin), Ibahiyah, Isma’iliyah dll.
6. Lihat Bidayah wan Nihayah hal. 160-161 oleh Ibnu Katsir.
7. Al-Farqu bainal Firoq oleh al-Baghdady hal. 22
8. Ibid hal.282
9. Ini pendapat yang kuat. Adapun yang mengatakan bahwa maulid tersebut dimulai tahun 604 H oleh Malik Mudoffar Abu Sa’id Kukburi maka ini tidak menafikan hal diatas karena awal maulid tahun 604 H ini di Mushil saja, adapun secara mutlak maka Bathiniyyahlah pencetus pertama Maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- didunia, khususnya di Mesir. (Lihat kitab “Al-Bida’ Al-Hauliyah” dan “Al-A’yad wa Atsaruha).
10 “Al-Bida’ Al-Hauliyah” Hal. 145, oleh Abdullah bin Abdul Aziz at-Tuwaijiry

Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 14, hal. 10-12
baca - Pencetus Pertama Maulid Nabi -shollallahu alaihi wa sallam

para ulama' tentang rojab

Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

[1]. Imam Ibnul Jauzy menerangkan bahwa hadits-hadits tentang Rajab, Raghaa’ib adalah palsu dan rawi-rawi majhul. [Lihat al-Maudhu’at (II/123-126)]

[2]. Kata Imam an-Nawawy:
“Shalat Raghaa-ib ini adalah satu bid’ah yang tercela, munkar dan jelek.” [Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 140)]

Kemudian Syaikh Muhammad Abdus Salam Khilidhir, penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at berkata: “Ketahuilah setiap hadits yang menerangkan shalat di awal Rajab, pertengahan atau di akhir Rajab, semuanya tidak bisa diterima dan tidak boleh diamalkan.” [ Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 141)]

[3]. Kata Syaikh Muhammad Darwiisy al-Huut: “Tidak satupun hadits yang sah tentang bulan Rajab sebagaimana kata Imam Ibnu Rajab.” [Lihat Asnal Mathaalib (hal. 157)]

[4]. Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H): “Adapun shalat Raghaa’ib, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahkan termasuk bid’ah…. Atsar yang menyatakan (tentang shalat itu) dusta dan palsu menurut kesepakatan para ulama dan tidak pernah sama sekali disebutkan (dikerjakan) oleh seorang ulama Salaf dan para Imam…”

Selanjutnya beliau berkata lagi: “Shalat Raghaa’ib adalah BID’AH menurut kesepakatan para Imam, tidak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyu-ruh melaksanakan shalat itu, tidak pula disunnahkan oleh para khalifah sesudah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula seorang Imam pun yang menyunnahkan shalat ini, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, Imam ats-Tsaury, Imam al-Auzaiy, Imam Laits dan selain mereka.

Hadits-hadits yang diriwayatkan tentang itu adalah dusta menurut Ijma’ para Ahli Hadits. Demikian juga shalat malam pertama bulan Rajab, malam Isra’, Alfiah nishfu Sya’ban, shalat Ahad, Senin dan shalat hari-hari tertentu dalam satu pekan, meskipun disebutkan oleh sebagian penulis, tapi tidak diragukan lagi oleh orang yang mengerti hadits-hadits tentang hal tersebut, semuanya adalah hadits palsu dan tidak ada seorang Imam pun (yang terkemuka) menyunnahkan shalat ini… Wallahu a’lam.” [Lihat Majmu’ Fataawa (XXIII/132, 134)]

[5]. Kata Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:
“Semua hadits tentang shalat Raghaa’ib pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab adalah dusta yang diada-adakan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan semua hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada beberapa malamnya semuanya adalah dusta (palsu) yang diada-adakan.” [Lihat al-Manaarul Muniif fish Shahiih wadh Dha’iif (hal. 95-97, no. 167-172) oleh Ibnul Qayyim, tahqiq: ‘Abdul Fattah Abu Ghaddah]

[6]. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan dalam kitabnya, Tabyiinul ‘Ajab bima Warada fii Fadhli Rajab:
“Tidak ada riwayat yang sah yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab dan tidak pula tentang puasa khusus di bulan Rajab, serta tidak ada pula hadits yang shahih yang dapat dipegang sebagai hujjah tentang shalat malam khusus di bulan Rajab.”

[7]. Imam al-‘Iraqy yang mengoreksi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Uluumuddin, menerangkan bahwa hadits tentang puasa dan shalat Raghaa’ib adalah hadits maudhu’ (palsu). [Lihat Ihya’ ‘Uluumuddin (I/202)]

[8]. Imam asy-Syaukani menukil perkataan ‘Ali bin Ibra-him al-‘Aththaar, ia berkata dalam risalahnya: “Sesungguhnya riwayat tentang keutamaan puasa Rajab, semuanya adalah palsu dan lemah, tidak ada asalnya (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [Lihat al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah (hal. 381)]

[9]. Syaikh Abdus Salam, penulis kitab as-Sunan wal Mubtada’at menyatakan: “Bahwa membaca kisah tentang Isra’ dan Mi’raj dan merayakannya pada malam tang-gal dua puluh tujuh Rajab adalah BID’AH. Berdzikir dan mengadakan peribadahan tertentu untuk merayakan Isra’ dan Mi’raj adalah BID’AH, do’a-do’a yang khusus dibaca pada bulan Rajab dan Sya’ban semuanya tidak ada sumber (asal pengambilannya) dan BID’AH, sekiranya yang demikian itu perbuatan baik, niscaya para Salafush Shalih sudah melaksanakannya.” [Lihat as-Sunan wal Mubtada’at (hal. 143)]

[10]. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz, ketua Dewan Buhuts ‘Ilmiyyah, Fatwa, Da’wah dan Irsyad, Saudi Arabia, beliau berkata dalam kitabnya, at-Tahdzir minal Bida’ (hal. 8): “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya tidak pernah mengadakan upacara Isra’ dan Mi’raj dan tidak pula mengkhususkan suatu ibadah apapun pada malam tersebut. Jika peringatan malam tersebut disyar’iatkan, pasti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Jika pernah dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti diketahui dan masyhur, dan ten-tunya akan disampaikan oleh para Shahabat kepada kita…

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak memberi nasihat kepada manusia, beliau telah menyampaikan risalah kerasulannya sebaik-baik penyampaian dan telah menjalankan amanah Allah dengan sempurna.

Oleh karena itu, jika upacara peringatan malam Isra’ dan Mi’raj dan merayakan itu dari agama Allah, ten-tunya tidak akan dilupakan dan disembunyikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi karena hal itu tidak ada, maka jelaslah bahwa upacara tersebut bukan dari ajaran Islam sama sekali. Allah telah menyempurnakan agama-Nya bagi ummat ini, mencukupkan nikmat-Nya dan Allah mengingkari siapa saja yang berani mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, karena cara tersebut tidak dibenarkan oleh Allah:

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu.” [Al-Maa-idah: 3]

KHATIMAH

Orang yang mempunyai bashirah dan mau mendengarkan nasehat yang baik, dia akan berusaha meninggalkan segala bentuk bid’ah, karena setiap bid’ah adalah sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Artinya : Tiap-tiap bid’ah itu sesat dan tiap-tiap kesesatan di Neraka.”
[HSR. An-Nasa'i (III/189) dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Sunan an-Nasa'i (I/346 no. 1487) dan Misykatul Mashaabih (I/51)]

Para ulama, ustadz, kyai yang masih membawakan hadits-hadits yang lemah dan palsu, maka mereka digo-longkan sebagai pendusta.

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Dari Samurah bin Jundub dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang-siapa yang menceritakan satu hadits dariku, padahal dia tahu bahwa hadits itu dusta, maka dia termasuk salah seorang dari dua pendusta.” [HSR. Ahmad (V/20), Muslim (I/7) dan Ibnu Majah (no. 39)]

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_______
MARAJI’
[1]. Shahih al-Bukhari.
[2]. Shahih Muslim.
[3]. Sunan an-Nasaa-i.
[4]. Sunan Ibni Majah.
[5]. Musnad Imam Ahmad.
[6]. Shahih Ibni Hibban.
[7]. Zaadul Ma’aad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, cet. Mu-assasah ar-Risalah, th. 1412 H.
[8]. Maudhu’atush Shaghani.
[9]. Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
[10]. Al-Maudhu’at, oleh Imam Ibnul Jauzy, cet. Daarul Fikr, th. 1403 H.
[11]. Mizaanul I’tidal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bajaawy, cet. Daarul Fikr.
[12]. Al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’, oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky.
[13]. Al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh asy-Syaukany, tahqiq: Syaikh ‘Abdurrahman al-Ma’allimy, cet. Al-Maktab al-Islamy, th. 1407 H.
[14]. Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at, oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani.
[15]. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqa-lany, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[16]. Adh-Dhu’afa wa Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
[17]. At-Taghib wat Tarhib, oleh Imam al-Mundziri.
[18]. Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[19]. Al-Laali al-Mashnu’ah, oleh al-Hafizh as-Suyuthy.
[20]. Adh-Dhu’afa wal Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i.
[21]. Al-Jarhu wat Ta’dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim ar-Razy.
[22]. As-Sunan wal Mubtada’at, oleh Muhammad Abdus Salam Khilidhir.
[23]. Asnal Mathaalib fii Ahaadits Mukhtalifatil Maraatib, oleh Muhammad Darwisy al-Huut.
[24]. Majmu’ Fataawa, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[25]. Al-Manaarul Muniif fis Shahih wadh Dha’if, oleh Syaikhul Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
[26]. Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada fiii Fadhli Rajab, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[27]. Ihya’ ‘Uluumuddin, oleh Imam al-Ghazzaly.
[28]. At-Tahdziir minal Bida’, oleh Imam ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz.
[29]. Misykaatul Mashaabih, oleh Imam at-Tibrizy, takhrij: Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
baca - para ulama' tentang rojab

faidah dari anjing

Oleh: Abu Ashim Muhtar Arifin Lc

[1] Masuk Islam Setelah Berdialog Tentang Jenggot dan Ekor Anjing !

Ada sebuah dialog antara seorang muslim yang aktif dalam berdakwah di jalan Allah ta’ala dengan seorang laki-laki kafir. Seorang da’i tersebut memiliki jenggot yang lebat, karena dia adalah orang yang komitmen dalam mengamalkan sunnah Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- yang mulia. Ketika orang kafir itu melihat jenggotnya yang panjang, maka ia ingin merendahkan, mengejek dan memperolok-oloknya. Orang kafir itu bertanya untuk mengejek jenggotnya : ”Mana yang lebih utama, jenggot ini ataukah ekor anjing?”

Da’i yang bijak dan sabar tersebut menjawab: ”Apabila jenggot ini akan berada di surga, maka ia lebih baik daripada ekor seekor anjing. Akan tetapi apabila jenggot ini akan berada di neraka, maka ekor seekor anjing lebih utama dari jenggot ini.”

Orang kafir itu pun segera mengatakan: ”Asyhadu alla ilâha illallah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullâh (Saya bersaksi bahwa tiada ilâh yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah).”

Segala puji bagi Allah, akhirnya ia memeluk agama Islam dan termasuk orang-orang yang komitmen dalam menjalankannya. Semoga Allah memberi kita semua ketegaran dan istiqamah dalam memegang satu-satunya agama yang haq dan mulia ini.

[2] Tidak Sombong Meskipun Kepada Seekor Anjing

Sombong terhadap orang lain adalah termasuk perkara yang dibenci Syari’at. Banyak ayat dan hadits yang memerintahkan manusia agar menjauhi sikap yang tercela ini.

Salah satu sifat rendah diri seorang imam yang pantas dicontoh adalah apa yang dilakukan oleh tokoh pembesar madzhab syafi’i Abu Ishaq asy-Syirazi -rahimahullah-. Pada suatu hari beliau berjalan di suatu jalan umum bersama para sahabatnya. Ketika sedang berjalan, tiba-tiba beliau berpapasan dengan seekor anjing. Lalu pemiliknya mengusir anjing itu (sebagai bentuk penghormatan untuk beliau). Melihat perlakuan orang itu, beliau melarangnya dan mengatakan: ”Biarkanlah anjing itu, tidakkah engkau mengerti bahwa jalan ini adalah milik bersama, untukku dan untuk anjing itu ?!” (Majmū’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1, hlm. 6)

[3] Allah Menampakkan Keutamaan Ilmu
Melalui Anjing

Ilmu Syari’at ini memiliki keutamaan yang sangat banyak. Keutamaan-keutamaan tersebut telah dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur`an dan oleh Rasulullah n dalam banyak hadits-hadits yang shahih. Para ulama pun telah menjelaskan hal itu dalam karya-karya ilmiyah mereka. Salah satunya terlihat dari ayat tentang berburu dengan anjing buruan.
Allah berfirman:

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (QS. al-Mâ`idah: 4)
Imam al-Qurthubi -rahimahullah- juga mengatakan: ”Masalah ke-17: Dalam ayat ini, terdapat sebuah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang berilmu memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang yang tidak berilmu. Hal itu apabila seekor anjing terdidik, maka ia akan memiliki keutamaan melebihi segala jenis anjing. Dengan demikian, apabila seseorang memiliki ilmu, maka dia lebih utama untuk mendapatkan keutamaan atas semua manusia, terlebih apabila ia mengamalkan ilmunya.” (Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`ân, jilid 6, hlm. 74)

Ungkapan senada pula telah disampaikan oleh Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- dalam Miftâh Dâr as-Sa’âdah, jilid 1, hlm. 235-236 dan Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di dalam Taisîr al-Karîm ar-Rahmân, hlm. 221)

[4] Pengekor Hawa Nafsu Seperti Anjing Penjilat

Allah ta’ala telah banyak membuat permisalan tentang jeleknya dan hinanya orang yang telah diberi ilmu lalu mengikuti hawa nafsunya dengan sifat yang ada dalam seekor anjing. Hal itu dijelaskan dalam firman-Nya:

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. (QS. al-A’râf: 175-176)
Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnul Qayyim -rahimahullah- mengatakan: ”Allah membuat perumpamaan bagi orang yang telah diturunkan kepadanya kitab Allah dan diajari ilmu yang orang yang lain terhalang darinya, lalu ia tidak mengamalkannya malah mengikuti hawa nafsu serta mengutamakan kemurkaan Allah atas keridhaan-Nya, dunia daripada akhirat dan makhluk daripada Khaliq, (orang tersebut bagaikan) anjing, binatang yang paling hina dan paling rendah kedudukannya serta paling hina jiwanya. Keinginannya tidak lebih dari perutnya. Ia adalah binatang yang paling rakus dan tamak.

Di antara kerakusannya adalah bahwa ia tidak berjalan melainkan moncongnya berada di tanah mencium-cium dan mencari bau-bauan dengan rakus dan tamak. Anjing ini selalu menciumi duburnya, bukan anggota badan yang lain. Apabila engkau melempar batu kepadanya, ia akan menuju kepadanya untuk menggigitnya karena kerakusannya yang amat sangat. Ia adalah binatang yang paling rendah dan paling tahan berada dalam kehinaan serta paling rela dengan perkara-perkara yang rendahan”. (at-Tafsîr al-Qayyim, dikumpulkan oleh Muhammad an-Nadawi, hlm. 280-281)

[5] Ungkapan ”Barangsiapa yang menyangka bahwa dia lebih baik dari anjing, maka anjing lebih baik dari pada orang itu”

Al-’Allâmah Zakariya bin Muhammad al-Anshari asy-Syafi’i t (wafat 926 H) pernah ditanya tentang perkataan sebagian orang sufi:

مَنْ ظَنَّ أَنَّهُ خَيْرٌ مِنَ الْكَلْبِ فَالْكَلْبُ خَيْرٌ مِنْهُ

Barangsiapa yang menyangka bahwa dia lebih baik daripada anjing, maka anjing lebih baik daripada orang itu.

Kemudian beliau menjawab: ”Maknanya yaitu, tidak sepantasnya bagi siapapun menyangka bahwa ia lebih baik daripada anjing, dan tidak pula sepadan dengannya, karena akhir dari urusan kehidupan orang itu tidak diketahui, apakah ia akan tinggal selamanya di neraka ataukah tidak? Sekiranya tidak kekal di neraka, apakah ia akan diadzab ataukah tidak? Kapan saja orang itu menyangka demikian (yaitu merasa lebih tinggi, lebih baik dan utama dari anjing secara mutlak, pen), maka anjinglah yang lebih baik darinya. Hal itu karena anjing itu tidak mukallaf (tidak terbebani untuk menjalankan syari’at) dan tidak mendapatkan adzab. Allâhu a’lam”. (al-I’lâm wa al-Ihtimâm bi Jam’ Fatâwâ Syaikh al-Islam Abu Yahya Zakariya al-Anshari, dikumpulkan oleh Ahmad Ubaid)

(Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 48, hal. 55-58)
baca - faidah dari anjing

puasa bulan rojab yang doif

Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Apabila kita memperhatikan hari-hari, pekan-pekan, bulan-bulan, sepanjang tahun serta malam dan siangnya, niscaya kita akan mendapatkan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana mengistimewakan sebagian dari sebagian lainnya dengan keistimewaan dan keutamaan tertentu. Ada bulan yang dipandang lebih utama dari bulan lainnya, misalnya bulan Ramadhan dengan kewajiban puasa pada siangnya dan sunnah menambah ibadah pada malamnya. Di antara bulan-bulan itu ada pula yang dipilih sebagai bulan haram atau bulan yang dihormati, dan diharamkan berperang pada bulan-bulan itu.

Allah juga mengkhususkan hari Jum’at dalam sepekan untuk berkumpul shalat Jum’at dan mendengarkan khutbah yang berisi peringatan dan nasehat.

Ibnul Qayyim menerangkan dalam kitabnya, Zaadul Ma’aad,[1] bahwa Jum’at mempunyai lebih dari tiga puluh keutamaan, kendatipun demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengkhususkan ibadah pada malam Jum’at atau puasa pada hari Jum’at, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk beribadah dari malam-malam yang lain dan jangan pula kalian mengkhususkan puasa pada hari Jum’at dari hari-hari yang lainnya, kecuali bila bertepatan (hari Jum’at itu) dengan puasa yang biasa kalian berpuasa padanya.” [HR. Muslim (no. 1144 (148)) dan Ibnu Hibban (no. 3603), lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah (no. 980)]

Allah Yang Mahabijaksana telah mengutamakan sebagian waktu malam dan siang dengan menjanjikan terkabulnya do’a dan terpenuhinya permintaan. Demikian Allah mengutamakan tiga generasi pertama sesudah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka dianggap sebagai generasi terbaik apabila dibandingkan dengan generasi berikutnya sampai hari Kiamat. Ada beberapa tempat dan masjid yang diutamakan oleh Allah dibandingkan tempat dan masjid lainnya. Semua hal tersebut kita ketahui berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan contoh yang benar.

Adapun tentang bulan Rajab, keutamaannya dalam masalah shalat dan puasa padanya dibanding dengan bulan-bulan yang lainnya, semua haditsnya sangat lemah dan palsu. Oleh karena itu tidak boleh seorang Muslim mengutamakan dan melakukan ibadah yang khusus pada bulan Rajab.

Di bawah ini akan saya berikan contoh hadits-hadits palsu tentang keutamaan shalat dan puasa di bulan Rajab.

HADITS PERTAMA
“Artinya : Rajab bulan Allah, Sya’ban bulanku dan Ramadhan adalah bulan ummatku”

Keterangan: HADITS INI “ MAUDHU’

Kata Syaikh ash-Shaghani (wafat th. 650 H): “Hadits ini maudhu’.” [Lihat Maudhu’atush Shaghani (I/61, no. 129)]

Hadits tersebut mempunyai matan yang panjang, lanjutan hadits itu ada lafazh:

“Artinya : Janganlah kalian lalai dari (beribadah) pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab, karena malam itu Malaikat menamakannya Raghaaib…”

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’

Kata Ibnul Qayyim (wafat th. 751 H): “Hadits ini diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Mandah dari Ibnu Jahdham, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Muhammad bin Sa’id al-Bashry, telah menceritakan kepada kami Khalaf bin ‘Abdullah as-Shan’any, dari Humaid Ath-Thawil dari Anas, secara marfu’. [Al-Manaarul Muniif fish Shahih wadh Dha’if (no. 168-169)]

Kata Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H): “Hadits ini palsu dan yang tertuduh memalsukannya adalah Ibnu Jahdham, mereka menuduh sebagai pendusta. Aku telah mendengar Syaikhku Abdul Wahhab al-Hafizh berkata: “Rawi-rawi hadits tersebut adalah rawi-rawi yang majhul (tidak dikenal), aku sudah periksa semua kitab, tetapi aku tidak dapati biografi hidup mereka.” [Al-Maudhu’at (II/125), oleh Ibnul Jauzy]

Imam adz-Dzahaby berkata: “ ’Ali bin ‘Abdullah bin Jahdham az-Zahudi, Abul Hasan Syaikhush Shuufiyyah pengarang kitab Bahjatul Asraar dituduh memalsukan hadits.”

Kata para ulama lainnya: “Dia dituduh membuat hadits palsu tentang shalat ar-Raghaa’ib.” [Periksa: Mizaanul I’tidal (III/142-143, no. 5879)]

HADITS KEDUA
“Artinya : Keutamaan bulan Rajab atas bulan-bulan lainnya seperti keutamaan al-Qur’an atas semua perkataan, keutamaan bulan Sya’ban seperti keutamaanku atas para Nabi, dan keutamaan bulan Ramadhan seperti keutamaan Allah atas semua hamba.”

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’

Kata al Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany: “Hadits ini palsu.” [Lihat al-Mashnu’ fii Ma’rifatil Haditsil Maudhu’ (no. 206, hal. 128), oleh Syaikh Ali al-Qary al-Makky (wafat th. 1014 H)]

HADITS KETIGA:
“Artinya : Barangsiapa shalat Maghrib di malam pertama bulan Rajab, kemudian shalat sesudahnya dua puluh raka’at, setiap raka’at membaca al-Fatihah dan al-Ikhlash serta salam sepuluh kali. Kalian tahu ganjarannya? Sesungguhnya Jibril mengajarkan kepadaku demikian.” Kami berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui, dan berkata: ‘Allah akan pelihara dirinya, hartanya, keluarga dan anaknya serta diselamatkan dari adzab Qubur dan ia akan melewati as-Shirath seperti kilat tanpa dihisab, dan tidak disiksa.’”

Keterangan: HADITS MAUDHU’

Kata Ibnul Jauzi: “Hadits ini palsu dan kebanyakan rawi-rawinya adalah majhul (tidak dikenal biografinya).” [Lihat al-Maudhu’at Ibnul Jauzy (II/123), al-Fawaa'idul Majmu’ah fil Ahaadits Maudhu’at oleh as-Syaukany (no. 144) dan Tanziihus Syari’ah al-Marfu’ah ‘anil Akhbaaris Syanii’ah al-Maudhu’at (II/89), oleh Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Araaq al-Kinani (wafat th. 963 H).]

HADITS KEEMPAT
“Artinya : Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab dan shalat empat raka’at, di raka’at pertama baca ‘ayat Kursiy’ seratus kali dan di raka’at kedua baca ‘surat al-Ikhlas’ seratus kali, maka dia tidak mati hingga melihat tempatnya di Surga atau diperlihatkan kepadanya (sebelum ia mati)”

Keterangan: HADITS INI MAUDHU’

Kata Ibnul Jauzy: “Hadits ini palsu, dan rawi-rawinya majhul serta seorang perawi yang bernama ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah perawi matruk menurut para Ahli Hadits.” [Al-Maudhu’at (II/123-124).]

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, ‘Utsman bin ‘Atha’ adalah rawi yang lemah. [Lihat Taqriibut Tahdziib (I/663 no. 4518)]

HADITS KELIMA
“Artinya : Barangsiapa puasa satu hari di bulan Rajab (ganjarannya) sama dengan berpuasa satu bulan.”

Keterangan: HADITS INI SANGAT LEMAH

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hafizh dari Abu Dzarr secara marfu’.

Dalam sanad hadits ini ada perawi yang bernama al-Furaat bin as-Saa’ib, dia adalah seorang rawi yang matruk. [Lihat al-Fawaa-id al-Majmu’ah (no. 290)]
Kata Imam an-Nasa’i: “Furaat bin as-Saa’ib Matrukul hadits.” Dan kata Imam al-Bukhari dalam Tarikhul Kabir: “Para Ahli Hadits meninggalkannya, karena dia seorang rawi munkarul hadits, serta dia termasuk rawi yang matruk kata Imam ad-Daraquthni.” [Lihat adh-Dhu’afa wa Matrukin oleh Imam an-Nasa'i (no. 512), al-Jarh wat Ta’dil (VII/80), Mizaanul I’tidal (III/341) dan Lisaanul Mizaan (IV/430).]

HADITS KEENAM
“Artinya : Sesungguhnya di Surga ada sungai yang dinamakan ‘Rajab’ airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, barangsiapa yang puasa satu hari pada bulan Rajab maka Allah akan memberikan minum kepadanya dari air sungai itu.”

Keterangan: HADITS INI BATHIL

Hadits ini diriwayatkan oleh ad-Dailamy (I/2/281) dan al-Ashbahany di dalam kitab at-Targhib (I-II/224) dari jalan Mansyur bin Yazid al-Asadiy telah menceritakan kepada kami Musa bin ‘Imran, ia berkata: “Aku mendengar Anas bin Malik berkata, …”

Imam adz-Dzahaby berkata: “Mansyur bin Yazid al-Asadiy meriwayatkan darinya, Muhammad al-Mughirah tentang keutamaan bulan Rajab. Mansyur bin Yazid adalah rawi yang tidak dikenal dan khabar (hadits) ini adalah bathil.” [Lihat Mizaanul I’tidal (IV/ 189)]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Musa bin ‘Imraan adalah majhul dan aku tidak mengenalnya.” [Lihat Silsilah Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (no. 1898)]

HADITS KETUJUH.
“Artinya : Barangsiapa berpuasa tiga hari pada bulan Rajab, dituliskan baginya (ganjaran) puasa satu bulan, barangsiapa berpuasa tujuh hari pada bulan Rajab, maka Allah tutupkan baginya tujuh buah pintu api Neraka, barangsiapa yang berpuasa delapan hari pada bulan Rajab, maka Allah membukakan baginya delapan buah pintu dari pintu-pintu Surga. Dan barang siapa puasa nishfu (setengah bulan) Rajab, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah.”

Keterangan: HADITS INI PALSU

Hadits ini termaktub dalam kitab al-Fawaa’idul Majmu’ah fil Ahaadits al-Maudhu’ah (no. 288). Setelah membawakan hadits ini asy-Syaukani berkata: “Suyuthi membawakan hadits ini dalam kitabnya, al-Laaliy al-Mashnu’ah, ia berkata: ‘Hadits ini diriwayatkan dari jalan Amr bin al-Azhar dari Abaan dari Anas secara marfu’.’”

Dalam sanad hadits tersebut ada dua perawi yang sangat lemah:

[1]. ‘Amr bin al-Azhar al-‘Ataky.
Imam an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits.” Sedangkan kata Imam al-Bukhari: “Dia dituduh sebagai pendusta.” Kata Imam Ahmad: “Dia sering memalsukan hadits.” [Periksa, adh-Dhu’afa wal Matrukin (no. 478) oleh Imam an-Nasa-i, Mizaanul I’tidal (III/245-246), al-Jarh wat Ta’dil (VI/221) dan Lisaanul Mizaan (IV/353)]

[2]. Abaan bin Abi ‘Ayyasy, seorang Tabi’in shaghiir.
Imam Ahmad dan an-Nasa-i berkata: “Dia Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya).” Kata Yahya bin Ma’in: “Dia matruk.” Dan beliau pernah berkata: “Dia rawi yang lemah.” [Periksa: Adh Dhu’afa wal Matrukin (no. 21), Mizaanul I’tidal (I/10), al-Jarh wat Ta’dil (II/295), Taqriibut Tahdzib (I/51, no. 142)]

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Syaikh dari jalan Ibnu ‘Ulwan dari Abaan. Kata Imam as-Suyuthi: “Ibnu ‘Ulwan adalah pemalsu hadits.” [Lihat al-Fawaaidul Majmu’ah (hal. 102, no. 288).

Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits tentang keutamaan Rajab, shalat Raghaa'ib dan puasa Rajab, akan tetapi karena semuanya sangat lemah dan palsu, penulis mencukupkan tujuh hadits saja.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]

_________
Foote Note
[1]. Zaadul Ma’aad (I/375) cet. Muassasah ar-Risalah
baca - puasa bulan rojab yang doif

kisah tidak nyata pada masyarakat

Oleh : Ustadz Ahmd Sabiq

I. PENGANTAR

Insya Alloh, tidak terlalu berlebihan kalau saya katakan bahwa kisah mempunyai pengaruh yang sangat besar pada jiwa seseorang, mulai dari anak kecil sampaipun orang dewasa bahkan terkadang yang sudah lanjut usia.
Kisah bisa mempengaruhi jiwa sehingga menjadi pemberani, jujur, berpikir optimis dan lainnya, namun disisi lainnya juga bisa mempengaruhinya sehingga menjadi penakut, cengeng, pemalu dan lainnya.
Oleh karena itu Alloh dalam kitab suci Al Qur’an banyak sekali menyebutkan kisah umat terdahulu, baik kisah para nabi dan orang-orang sholih untuk dijadikan ibroh kebaikannya, juga kisah kaum yang dholim untuk dijadikan pelajaran akan akibat perbuatan dholimnya.


Alloh Ta’ala berfirman :

لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sungguh dalam kisah-kisah mereka terdapat sebuah pelajaran bagi orang-orang yang berakal.”

(QS. Yusuf : 111)

فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

“Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al A’rof : 176)

begitu pula Rosululloh, beliau sering menceritakan banyak kisah yang terjadi pada ummat yang telah lampau, sebagaimana hal ini diketahui bersama oleh orang-orang yang menelaah sunnah beliau. Begitu pula dengan salafus sholeh dan para ulama’ ahlus sunnah setelahnya

II. ANTARA KISAH SHAHIH DAN LEMAH

Namun tidak semua kisah yang berkembang dimasyarakat yang dinisbahkan kepada Rosululloh, juga para sahabat, para ulama’ serta lainnya itu benar-benar shohih berasal dari mereka, akan tetapi sebagiannya adalah kisah-kisah palsu, sebagiannya lagi lemah dan sebagiannya lagi ada yang inti kisahnya benar namun dibumbui dengan beberapa tambahan yang tidak ada asal usulnya. Padahal banyak sekali kisah-kisah yang tidak shohih tersebut membahwa pengaruh terhadap penyelewengan yang tidak ringan dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah , akhlak serta lainnya.
Dan bahaya ini semakin nampak tatkala itu adalah cerita yang dinisbahkan kepada Rosululloh, karena itu bisa merupakan sebuah kedustaan atas nama beliau, padahal beliau pernah bersabda :

َمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار

“Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja , maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”

(Hadits mutawatir)

dan seandainyapun kisah itu tidak sampai pada derajat kisah palsu, dan hanya sebuah cerita yang lemah sanadnya, namun menceritakannya pun merupakan sesuatu yang berbahaya dalam pandangan syar’i. Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh Syaikh Al Albani :

“Ketahuilah, bahwa yang melakukan perbuatan ini adalah salah satu diantara dua kemungkinan :
Pertama : Mungkin orang tersebut mengetahui kelemahan hadits-hadits (yang dalam hal ini adalah hadits Rosululloh yang berupa kisah –pent) tersebut lalu dia tidak menerangkan sisi kelemahannya, maka orang semacam ini menipu kaum muslimin. Dan dia jelas-jelas masuk dalam ancaman sabda Rosululloh :

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِين
َ
“Barang siapa yang menceritakan dariku sebuah hadits yang dia sangka bahwa hadits itu dusta, maka dia adalah salah satu dari pendusta.”

(HR. Muslim dalam Muqoddimah shohih beliau)

Berkata Imam Ibnu Hibban dalam kitab Adl Dlu’afa’ : 1/7-8 :

“Hadits ini menunjukkan bahwa seorang ahli hadits kalau meriwayatkan sebuah hadits yang tidak shohh dari Rosululloh padahal dia mengetahuinya maka dia termasuk salah satu pendusta, padahal dhohirnya hadits tersebut menjelaskan perkara yang lebih besar lagi, dimana Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang menceritakan dariku sebuah hadits yang dia sangka bahwa itu dusta ..” dan Rosululloh tidak bersabda : “Yang dia yakini bahwa itu dusta..” maka semua orang yang masih ragu-ragu pada apa yang dia riwayatkan apakah hadits itu shohih ataukah tidak maka dia termasuk dalam ancaman hadits tersebut.”

[Ucapan Imam Ibnu Hibban ini di nukil oleh Imam Ibnu Abdil Hadi dalam Ash Shorim Al Munki hal : 165-166 dan beliau menyepakatinya]


Kedua : Atau mungkin orang tersebut tidak mengetahui kelemahan sebuah hadits yang diriwayatkannya. Dan kalau begitu, maka dia tetap berdosa juga, karena dia berani menisbahkan sebuah hadits kepada Rosululloh tanpa ilmu. Padahal Rosululloh bersabda :

عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Dari Hafsh bin Ashim bersabda : “Rosululloh bersabda : “Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta, kalau dia menceritakan semua yang dia dengar.”

(HR. Muslim : 5, Abu Dawud : 4992. Lihat ash Shohihah : 205)

Maka orang ini mendapatkan bagian dosa berdusta atas nama Rosululloh, karena Rosululloh menjelaskan bahwa orang yang menceritakan semua yang dia dengar akan terjerumus pada berdusta atas nama beliau. Dan dengan sebab inilah dia termasuk salah satu diantara dua pendusta, yang pertama adalah yang membuat kedustaan itu sendiri dan yang kedua adalah yang menyebarkannya.


Imam Ibnu Hibban berkata lagi 1/9 :

“Hadits ini merupakan ancaman bagi seseorang yang menceritakan semua yang dia dengar sampai dia mengetahui dengan pasti akan keshohihannya.”
Imam Nawawi juga menegaskan bahwa orang yang tidak mengetahui keshohihan sebuah hadits maka tidak boleh untuk berhujjah dengannya tanpa meneliti terlebih dahulu jika dia sanggup melakukanya atau bertanya kepada para ulama’.”

(Lihat Tamamul Minnah ha : 32-34, dan lihat juga Silsilah adl Dlo’ifah 1/10-12)

III. PERHATIAN PARA ULAMA TERHADAP HADITS, KISAH LEMAH, DAN KISAH PALSU
Para ulama’ ahlus sunnah sangat memberikan perhatian untuk memperingatkan umat dari hadits dan kisah yang lemah dan palsu. Hal ini mereka lakukan agar ummat islam bisa menerima ajaran agama mereka sebagaimana yang benar-benar pernah disampaikan oleh Rosululloh, dan membersihkan semua tambahan dan polusi yang sebabkan oleh tersebarnya hadits dan kisah yang lemah dan palsu.
Mereka berjuang sekuat tenaga untuk melawan hadits dan kisah lemah serta palsu ini dengan segenap kemampuan yang mereka miliki, diantara yang mereka lakukan adalah :
1. Meneliti sanad hadits

Para sahabat Rosululloh adalah orang-orang terpercaya yang tidak pernah berbohong, bagaimana mungkin mereka berbohong padahal mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Alloh Ta’ala untuk menemani dan membantu Rosululloh dalam mengemban risalah dari Alloh ini ?

Oleh karena itu kalau salah seorang dari mereka meriwayatkan sebuah hadits dari Rosululloh maka mereka langsung mempercayainya, dan itu pulalah yang dilakukan oleh para tabi’in. Namun setelah muncul fitnah, dan kaum muslimin terpecah belah menjadi berbagai kelompok dan golongan, serta munculnya orang-orang yang berani berdusta atas nama Rosululloh, maka para ulama’ mulai meneliti hadits yang mereka dengar.

Berkata Imam Muhammad bin Sirin :

“Kami tidak pernah bertanya tentang sanad, namun tatkala muncul fitnah, maka kami mengatakan : “Sebutkan para perowi kalian.” Lalu dilihat kalau dia dari kalangan ahli sunnah maka haditsnya diterima, namun kalau dari ahli bid’ah maka haditsnya ditolak.”

Berkata Abdulloh bin Mubarok :

“Sanad adalah bagian dari agama, seandainya tidak ada sanad niscaya semua orang akan bicara semaunya sendiri.”

Perhatian pada sanad ini sangat dikedepankan oleh para ulama’ hadits dalam menerima sebuah riwayat, sehingga mereka tidak menerima kecuali yang benar-benar shohih dari Rosululloh. (Lihat As Sunnah Qoblat Tadwin oleh Muhammad Ajaj Al Khothib hal : 220-225)
2. Melipatgandakan kesungguhan dalam mencari hadits Rosululloh
Termasuk kemurahan Alloh Ta’ala yang dicurahkan kepada ummat ini adalah Alloh memanjangkan umur sebagian para sahabat Rosululloh, agar mereka bisa menjadi nara sumber yang menunjukkan kepada kaum muslimin sunnah Rosul mereka, mereka bisa menjadi tempat bertanya dan minta fatwa. Namun karena para sahabat tidak berada disatu tempat akan tetapi mereka berpencar disegala penjuru negri, maka itu mengharuskan adanya perjalanan untuk mendapatkan hadits Rosululloh yang dibawa oleh mereka, akhirnya banyak sekali para penuntut ilmu dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka yang mengadakan perjalanan berbulan-bulan demi mendapatkan hadits Rosululloh.
Ambil contoh apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitabul ilmi bahwa Jabir bin Abdillah melakukan perjalanan selama satu bulan penuh untuk mendapatkan satu buah hadits dari Abdulloh bin Unais.

Berkata Sa’id bin Musayyib :

“Saya pernah berjalan berhari-hari demi mendapat satu buah hadits.” (Lihat Jami’ Bayanil Ilmi Wa fadllihi oleh Imam Ibnu Abdil Bar 1/113)

Berkata Imam Ibnu Hibban :

“Para ulama’ yang menjaga agamanya kaum muslimin dan memberi petunjuk mereka kepada jalan yang lurus, mereka adalah orang-orang yang lebih mengutamakan menempuh perjalanan melewati padang pasir nan luas daripada harus bersenang-senang dengan tetap tinggal dikampung halaman, semua itu demi mencari sunnah Rosululloh diberbagai penjuru negeri lalu mengumpulkannya dalam kitab dan buku, sampai-sampai salah satu dari mereka ada yang berjalan ribuan kilo meter demi mencari satu hadits, juga ada yang berjalan berhari hari demi mendapatkan sebuah hadits. Ini semua agar tidak ada diantara kaum penyesat yang bisa memasuki mereka, kalau ada yang melakukan itu, maka para ulama’ tersebut segera mengetahui dan membongkar kedoknya.”

(Lihat Al Majruhin oleh Imam Ibnu Hibban 1/27 dengan sedikit perubahan)

3. Studi kritis terhadap para perowi hadits
Para ulama’ hadits sangat perhatian untuk mengetahui para perowi hadits, karena dengan cara ini mereka bisa membedakan antara sebuah hadits yang shohih dan hasan dengan sebuah hadits yang lemah dan palsu, oleh karena itu mereka mempelajari biografi setiap perowi hadits, baik yang nampak maupun bukan, baik yang menyenangkan maupun mungkin yang menyakitkan.

Pernah ada seseorang yang berkata kepada Imam Yahya bin Sa’id Al Qothon :“Tidakkah engkau takut bahwa orang-orang yang tidak engkau ambil haditsnya akan menjadi musuhmu pada hari kiamat kelak ? maka beliau menjawab : “Mereka menjadi musuhku itu jauh lebih baik daripada yang menjadi musuhku adalah Rosululloh, dimana besok beliau akan mengatakan : “Kenapa engkau tidak membersihkan haditsku dari para pendusta ?.” (Lihat Al Kifayah fi Ilmir Riwayah oleh al Khothib al Baghdadi hal : 44)

Juga pernah ada yang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Sangat berat bagiku untuk mengatakan : “ Si Fulan lemah, si fulan pendusta.” Maka Imam Ahmad berkata : “Jika engkau diam, dan sayapun diam, lalu dari mana orang akan bisa mengetahui mana hadits yang shohih dengan hadits yang lemah ?.” (Lihat Al Kifayah hal : 46)

Para ulama’ telah mengerahkan segala kemampuan mereka untuk membedakan mana rowi yang lemah dengan yang terpercaya, mereka menulis banyak kitab, baik kitab yang besar maupun kecil.
Diantara kitab-kitab tersebut adalah :

Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini dalam Shohih Al Qoshosh An Nabawi
Al Kamal Fi Asma’ir Rijal oleh imam Abdul Ghoni Al Maqdisi
Tahdzibul Kamal oleh Imam Al Mizzi
Tahdzibut Tahdzib oleh al Hafidz Ibnu Hajar
Mizanul I’tidal oleh Imam Adz Dzahabi
Lisanul Mizan oleh Al Hafidl Ibnu Hajar
Siyar a’lamin Nubala’oleh Adz Dzahabi
Thobaqot al Kubro oleh Ibnu Sa’ad
Ats Tsiqot oleh Ibnu Hiban
Al Majruhin oleh Ibnu Hibban
Adl Dlu’afa’ wal Matrukin oleh Imam Ad Daruquthni
At Tarikh al Kabir oleh Imam Bukhori
Al Jarh wat Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim
Adl Dlu’afa’ al Kabir oleh al Uqoili
Al Kamil fidl Dlu’afa’ oleh Ibnu ‘Adi
dan masih banyak lagi kitab lainnya.

4. Menulis kitab yang mengumpulkan hadits lemah dan palsu
Para ulama’ sejak zaman dahulu sangat perhatian terhadap pengumpulan hadits-hadits lemah dan palsu dalam sebuah kitab. Tujuan mereka adalah agar kaum muslimin mengetahui bahwa hadits tersebut adalah lemah atau palsu, sehingga bisa menghindarinya.
Diantara kitab-kitab tersebut adalah :

Al Maudlu’at minal Ahadits Al Marfu’at oleh Imam Ibnul Jauzi
Al La’ali Al Mashnu’ah fil Ahaditsil Maudlu’ah oleh Imam As Suyuthi
Tanzihusy Syari’ah al Marfu’ah min Akhbar Asy Syani’ah Al Maudlu’ah oleh Syaikh Ibnu ‘Aroq Al Kanani
Al ‘Ilal Al Mutanahiyyah minal Ahaditsil Wahiyah oleh Imam Ibnul Jauzi
Al Fawa’id Al Majmu’ah fil Ahadits al Maudlu’ah oleh Imam Syaukani
Al Manarul Munif fish Shohih wadl Dlo’if oleh Imam Ibnul Qoyyim
Silsilah Ahadits Dlo’ifah wal Maudlu’ah oleh Imam Al Albani
Dan masih banyak kitab lainnya.

Dan para ulama’ mu’ashirin banyak yang menuliskan mengenai kisah tak nyata ini dalam sebuah risalah tersendiri, di antaranya adalah :

Syaikh Mayhur Hasan Salman dalam kitab beliau : Qoshoshun la tastbut
Syaikh Fauzi bin Abdur Rohman dalam Tabshirotu Ulil Ahlam min Qoshoshin fiha kalam
Syaikh Ali bin Ibrohim Al Hasyisy dalam silsilah “Tahdzirud Da’iyah min Al Qoshosh al Wahiyah” yang beliau tulis secara berurutan dalam majalah At Tauhid di Mesir
Syaikh Yusuf bin Muhammad Al Atiq dalam Qoshosh la Tastbut

Dan sebagian ulama’ lainnya ada yang mengumpulkan kisah kisah yang shohih dari Rosululloh, sebagai ganti dari kisah-kisah lemah tersebut, diantaranya adalah :

Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam Qoshosh Tatsbut
Syaikh Sulaiman Al Asyqor dalam Shohih Al Qoshos an NAbawi

5. Meletakkan kaedah untuk mengetahui hadits yang shohih dengan yang lemah
Adanya ilmu mushtholah hadits yang di buat oleh para ulama’ untuk membikin sebuah kaedah untuk bisa dibedakan hadits yang shohih dengan yang lemah. Itu semuanya adalah bukti akan kesungguhan ulama’ islam dalam membela haditsnya Rosululloh.

IV. KISAH TAK NYATA YANG DINISBATKAN KEPADA SELAIN RASULULLAH
Kalau itu bahaya kisah tak nyata yang dinisbahkan kepada Rosululloh, demikian juga dengan kisah yang dinisbahkan kepada selain Rosululloh, baik itu kepada para sahabat, para ulama’, raja, panglima dan pemimpin kaum muslimin pun merupakan perkara yang membahayakan. Diantara bahaya tersebut adalah :
1. Berdusta atas nama seorang muslim.
Merupakan sesuatu yang dipahami bersama bahwa dusta terhadap sesama muslim adalah dosa besar dan salah satu tanda kemunafikan.
Rosululloh bersabda :

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

“Ada empat perkara yang apabila terdapat pada seseorang maka dia itu seorang munafiq yang murni, namun kalau cuma ada salah satunya saja maka berarti dia memiliki bagian dari kemunafikan sehingga dia mau meninggalkannya, yaitu apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji tidak menepati, apabila melakukan perjanjian maka dia berkhianat dan apabila bermusuhan maka dia berbuat melampaui batas.”

(HR. Bukhori : 38, Muslim : 58 dari Abdulloh bin ‘Amr bin Ash)

2. Merusak citra mereka
Hal ini sangat nampak pada sebagian cerita, yang insya Alloh akan kita bahas satu persatu, namun cukuplah sebagai sebuah contoh kecil, yaitu:

Kisah Amirul Mu’minin Harun Ar Rosyid, yang digambarkan bahwa beliau adalah teman karib Abu Nawas (seorang penyair zindiq dan syairnya banyak bicara tentang wanita dan khomer, meskipun dikatakan bahwa dia bertaubat diakhir hayatnya), lalu banyak minum khomer, main wanita, dan lainnya.

Wallohi ini adalah sebuah kedustaan nyata, karena beliau adalah seorang raja muslim yang dekat dengan para ulama’ dan banyak memberikan perhatian kepada sunnah Rosululloh, meskipun kita tidak menafikan kesalahan-kesalahan beliau, namun kisah dengan Abu Nawas itu adalah kedustaan.
3. Tersebarnya kisah tak nyata dikalangan kaum muslimin
Dan ini hal yang tidak bisa dipungkiri, sehingga akhirnya banyak kisah-kisah yang tidak shohih tersebut banyak dinukil diceramah-ceramah maupun dikitab, padahal semua itu hanyalah kedustaan belaka.
Dan masih banyak bahaya lainnya

VI. CONTOH KISAH TAK NYATA DI NEGERI KITA (INDONESIA)
Jangan kaget kalau saya katakan banyak banyak sekali kisah palsu yang tersebar di Indnesia dan negeri muslim lainnya, dan saya harap jangan ada seorangpun yang berpikir bahwa kisah palsu itu hanyalah dongeng yang banyak disebarkan di buku-buku dan majalah anak-anak atau di pelajaran sekolah dasar, sepertidongeng asal muasal Danau Toba, asal muasal Banyuwangi, cerita tentang kahyangan dengan bidadarinya yang bisa terbang dengan selendangnya dan lainnya, karena itu semua hanyalah dongeng kuno yang semua mengetahui bahwa itu hanyalah sebuah kedustaan.
Namun, yang saya maksud adalah kisah yang banyak disampaikan oleh para ‘ustadz, kyai, penceramah’, di antaranya adalah :
A. Kisah yang dinisbahkan kepada Rosululloh :

kisah tentang perjalanan Nur Muhammad, yang dikatakan pindah dari rahim wanita-wanita suci sampai kepada Abdulloh bapaknya Rosululloh yang kemudian berpindah kepada Aminah ibunda Rosululloh.
kisah seputar kelahiran Rosululloh yang dikatakan bahwa patung-patung tersungkur, yang banyak dibaca dan disampaikan saat peringatan maulid nabi
kisah seputar hijroh Rosululloh yang dikatakan bahwa saat beliau bersama Abu Bakr di gua Tsaur maka ada laba-laba yang membuat rumah dimulut gua, juga ada burung merpati yang juga membuat sarang serta bertelur dimulut gua, serta kisah bahwa saat berada dalam gua Abu Bakr tersengat ular.
Kisah sambutan dengan “Thola’al badru alaina” saat Rosululloh datang kekota Madinah dari Mekkah
Kisah demonstrasi unjuk kekuatan yang dilakukan oleh kaum muslimin saat masuk islamnya Umar bin Khothob
Dan masih banyak lainnya

B. Kisah yang dinisbahkan kepada para sahabat

Kisah seputar perang Jamal dan Shiffin
Kisah Tsa’labah yang tidak mau membayar zakat
Kisah Alqomah yang tidak bisa mengucapkan kalimat tauhid saat sakarotul maut karena durhaka pada ibunya
Dan kisah lainnya

C. Kisah yang dinisbahkan kepada para raja dan panglima muslim

Kisah Harun Ar Rosyid dengan Abu Nawas
Kisah seputar kehidupan Amirul Mu’minin Mu’awiyyah bin Abu Sufyan
Kisah Thoriq bin Ziyad yang membakar perahu saat menyerang Andalus (Spanyol)
Kisah Sholahuddin al Ayyubi yang dikatakan bahwa beliau adalah yang pertama kali memperingati maulid nabi
Dan lainnya

D. Kisah yang dinisbahkan kepada para ulama’

Kisah Imam Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in dengan seorang tukang cerita
Kisah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas mimbar Masjid Jami’ Damaskus yang dikatakan bahwa beliau mengatakan : Alloh turun kelangit dunia seperti turunku dari atas mimbar ini.”
Kisah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang dikatakan bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin serta kedustaan lainnya atas beliau
Kisah Al Hafizh Ibnu Hajar, yang diceritakan bahwa belau dulunya santri bodoh lalu bertemu dengan air yang menetes pada batu cadas dan mampu melobanginya, sehingga beliau disebut Ibnu Hajar yang artinya anak batu

E. Kisah-kisah seputar Indonesia
Dinegeri kita berkembang banyak cerita yang harus diberi sebuah tanda tanya besar akan keshohihannya, diantaranya adalah :

Kisah Sunan Kalijaga yang katanya menunggu tongkat sunan Bonang dipinggir kali dalam waktu yang sangat lama sehingga tubuhnya ditumbuhi lumut air dan tumbuhan
Kisah Syaikh Siti Jenar yang katanya berasal dari cacing tanah merah
Kisah tentang sebab perang Pangeran Diponegoro dengan penjajah Belanda yang katanya hanya karena masalah tanah kuburan yang masuk dalam proyek jalan yang dibuat belanda
Dan banyak kisah lainnya.

VII. Tashfiyah dan Tarbiyah
Mudahan sadarnya kembali sebagian ummat islam terutama di kalangan generasi mudanya untuk belajar islam, dibarengi dengan semangat untuk mepelajar islam yang murni berasal dari Rosululloh, terbebas dari hitamnya semua yang mengotori kemurnian islam, termasuk diantaranya hadits-hadits dan kisah-kisah lemah serta palsu, yang banyak mebuat berbagai macam khurofat, bid’ah, kesalahan hukum dan lain sebagainya.
Dan inilah yang selalu didengungkan oleh Imam Ahlus Sunnah dan mujaddid abad ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dengan syi’ar “At Tashfiyah wat Tarbiyyah” At Tasfiyyah artinya membersihkan islam dan semua yang mengotori kesucianya dan dengan isam yang sudah di tashfiyah itulah kita mentarbiyyah (mendidik) ummat, ang dengan inilah insya Alloh kaum muslimin sekarang ini akan kembali meraih kejayaanya.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Dari Ibnu Umar berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Apabila kalian jual beli dengan cara ‘inah dan kalian memegang ekor sapi serta kalian ridlo dengan cocok tanam juga kalian tinggalkan jihad maka Alloh akan menimpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan menghilangkannya sehingga kalian kembali kepada agama kalian.”
(HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad shohih, lihat Ash Shohihah : 11)

Alangkah benarnya apa yang dikatakan oleh Imam Malik :

لا يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها
“Tidak akan baik akhir ummat ini kecuali dengan sesuatu yang membuat baik pada awalnya”

Wallohu A’lam.
baca - kisah tidak nyata pada masyarakat

apa-apa fatihah dulu

Oleh Ustadz Aris Munandar

قال العلامة الإمام الفقيه محمد بن صالح العثيمين – رحمه الله تعالى – في ( شرح بلوغ المرام ) :

Ketika menjelaskan kitab Bulughul Maram, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan

واما ما يفعله بعض العوام من انه كلما أرادوا شيئا قالوا : الفاتحة ؛ وهذا والحمد لله لا يوجد عندنا ؛ لكن يوجد عند إخواننا الذين يفدون إلي البلاد ؛ كل شيء الفاتحة ؛ عند عقد النكاح الفاتحة ، وعند الصلح ، وعند أي شيء ، وهذا بدعة ؛ ولا يجوز ؛

“Adalah kebiasaan sebagian orang awam setiap kali hendak melakukan sesuatu mengatakan ‘alfatihah’. Alhamdulillah perilaku semacam ini tidak dilakukan oleh orang Saudi namun sebagian saudara kita kaum muslimin yang berada di Saudi itu apa apa al fatihah. Ketika akad nikah alfatihah, ketika berunding untuk damai alfatihah. Pokoknya apa apa serba alfatihah. Sikap semacam ini adalah bid’ah yang tidak boleh dilakukan.

لانه لو كانت خيرا لكان أول من يفعلها الرسول صلى الله عليه وسلم وأصحابه لكنها بدعة ، وليست مشروعة .
Alasannya jika perbuatan semacam ini adalah kebaikan tentu saja yang pertama kali melakukannya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Karena mereka tidak pernah melakukannya maka amalan seperti ini adalah bid’ah dan tidak dituntunkan”.

Sumber: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=113402#post113402
baca - apa-apa fatihah dulu

kesirikan dalam burdah

Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Pengantar

Bagi sebagian kalangan warga Indonesia, “Burdah Al-Bushiri” bukanlah hal yang asing, lantaran buku itu kerap dibaca dalam acara-acara tertentu secara bersama dan bergilir dari rumah ke rumah pada setiap bulan, minggu, bahkan oleh sebagian orang dibaca setiap hari di rumahnya bersifat individual.

Di kampung Arab Bondowoso diceritakan, bahwa acara pembacaan Burdah bersama tersebut merupakan warisan turun-temurun dari masyarakat kampung Arab, dan telah mengalami regenerasi yang cukup panjang yaitu sebelum tahun 1970-an, artinya sudah berlangsung kurang lebih selama 34 tahun. (Majalah Cahaya Nabawi No. 33 Th. III Sya’ban 1426 H hal. 56)

Memang, “Burdah Al-Bushiri” ini sangat populer sekali, dibaca dan dikaji di rumah dan masjid seperti halnya Al-Qur’an, kalam ilahi. Lebih dari itu, banyak sekali buku yang mensyarahnya (menjelaskan makna kandungannya), sehingga terhitung lebih dari lima puluh jumlahnya, bahkan sebagiannya ada yang ditulis dengan tinta emas!!

Siapakah Al-Bushiri?

Dia bernama Muhammad bin Sa’id bin Hammad bin Muhsin bin Abdillah ash-Shanhaji al-Bushiri, nisbah kepada kotanya Abu Shir di Mesir, tetapi asalnya dari Maghrib. Dia lahir pada tahun 608 H, dia termasuk ahli di bidang syair tetapi sayangnya dia sangat miskin ilmu, buktinya dia menasabkan diri dan menjadi pembela salah satu tarikat Sufi yang sesat, yaitu tarikat Syadziliyah[1]. Dia wafat pada tahun 695 H. (Lihat Fawat Al-Wafayat 3/362 al-Kutbi, Al-A’lam 6/139 az-Zirakli, Mu’jam Muallifin 10/26 Kahhalah, Syadzarat Dzahab 5/432)

Judul Bukunya

Secara harfiyah “Burdah” memang bermakna selendang. Al-Bushiri membubuhkan judul antologinya dengan nama tersebut bukan berarti tanpa alasan. Sebab, alkisah di zaman nabi dulu ada seorang tokoh yang bernama Ka’ab bin Zuhair. Semula dia adalah seorang penyair non muslim yang tergolong paling radikal menentang dakwah Rasulullah, kemudian dia masuk Islam, lantas menggubah sajak buat Nabi yang isinya kala itu tergolong estetik. Intro puisi itu:

Kudengar kabar

Rasulullah berjanji padaku

Dan ampunan itu

Sungguh jadi tumpuan harapanku.

Untuk itu konon Nabi memberikan selendang beliau kepadanya.

Berdasar mirip dengan cerita di muka, Al-Bushiri mengaku bahwa dirinya juga bermimpi bahwa Nabi memberinya selendang tatkala dia melantunkan gubahan sajak-sajaknya!! (Dikutip dari buku “Burdah, Madah Rasul Dan Pesan Moral” yang dipuitisikan oleh Muhammad Baharun, Majalah Cahaya Nabawi hal. 55)

Pengingkaran Para Ulama

Para ulama telah bangkit menunaikan tugas mereka dalam menyingkap penyimpangan yang ada dalam Burdah Bushiri, termasuk diantara mereka yang menjelaskan penyimpangannya adalah:

Asy-Syaukani dalam Ad-Durr An-Nadzid hal. 26,
Abdur Rahman bin Hasan dalam Rasail wa Masail Najdiyyah 2/33,
Sulaiman bin Abdillah dalam Taisir Aziz hamid hal. 221-223,
Abdullah Abu Buthain dalam Naqd Burdah dan Ta’sis Taqdis,
Mahmud Syukri al-Alusi dalam Ghoyatul Amani 2/350, al-Ustadz Abdul Badi’ Saqr dalam kitab Naqd Burdah,
dan masih banyak lagi lainnya.

Beberapa Contoh Penyimpangan

Sebenarnya banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang terdapat dalam Burdah tersebut, namun sekedar contoh kita nukilkan sebagiannya saja. Hanya kepada Allah saja, kita bertawakkal:

1. Al-Bushiri mengatakan:

وَكَيْفَ تَدْعُوْ إِلَى الدُّنْيَا ضَرُوْرَة مَنْ لَوْلاَهُ لَمْ تُخْرَجِ الدُّنْيَا مِنَ الْعَدَمِ

Bagaimana engkau menyeru kepada dunia

Padahal kalau bukan karenanya (Nabi) dia tiada tercipta

Tidak ragu lagi bahwa bait ini mengandung ghuluw (berlebih-lebihan) kepada Nabi, dimana al-Bushiri menganggap bahwa dunia ini tidaklah diciptakan kecuali karena Nabi, padahal Allah berfirman:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Mungkin saja ucapan di atas bersandar pada hadits palsu:

لَوْلاَكَ لَمَا خَلَقْتُ الأَفْلاَكَ

Seandainya bukan karenamu, Aku tidak akan menciptakan makhluk.

(Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah al-Albani no. 282)

2. Al-Bushiri berkata:

دَعْ مَا ادَّعَتْهُ النَّصَارَى فِيْ نَبِيِّهِمْ وَ احْكُمْ بِمَا شِئْتَ فِيْهِ وَاحْتَكِمْ

Tinggalkanlah ucapan kaum Nashara terhadap nabi mereka

Adapun terhadapnya (Nabi Muhammad), ucaplah sesuka anda

Dalam bait ini, dia menganggap bahwa yang terlarang adalah kalau umat Islam mengatakan seperti ucapan orang-orang Nashara terhadap Nabi Isa bahwa beliau adalah Tuhan, anak tuhan dan salah satu tuhan dari yang tiga. Adapun selain itu maka hukumnya boleh-boleh saja.

Ucapan ini jelas sekali kebatilannya, sebab ghuluw itu sangat beraneka macam bentuknya dan kesyirikan itu ibarat laut tak bertepi, artinya dia tidak terbatas hanya pada ucapan kaum nashara saja, sebab umat-umat jahiliyyah dahulu yang berbuat syirik, tidak ada seorangpun diantara mereka yang berucap seperti ucapan Nashara. Jadi ucapan di atas merupakan pintu kesyirikan, sebab menurutnya ghuluw itu hanya terbatas pada ucapan kaum nashara saja.

4. Al-Bushiri berkata:

لاَطِيْبَ يَعْدِلُ تُرْبًا ضَمَّ أَعْظُمَهُ طُوْبَى لِمُنْتَشِقٍ مِنْهُ وَمُلْتَثِمِ

Tiada kebaikan yang melebihi tanah yang menimbun tulangnya

Kebahagiaan (surga) bagi orang yang dapat menciumnya

Dalam bait ini, al-Bushiri menyatakan bahwa tanah yang menimbun tulang-tulang Nabi adalah tempat yang paling utama dan mulia. Tidak hanya itu, tetapi bagi mereka yang menciumnya maka balasannya adalah surga dan kedudukan mulia. Tidak ragu lagi bahwa semua ini adalah termasuk ghuluw yang menjurus ke pintu kebid’ahan dan kesyirikan.

Syaikhul Islam berkata:

“Para imam telah bersepakat bahwa tidak boleh mengusap-ngusap kuburan nabi ataupun menciumnya, semua ini untuk menjaga kemurnian tauhid”. (Ar-Radd Ala Akhna’I hal. 41)


5. Al-Bushiri berkata:

أَقْسَمْتُ بِالْقَمَرِ الْمُنْشَقِّ إِنَّ لَهُ مِنْ قَلْبِهِ نِسْبَةً مَبْرُوْرَةَ الْقَسَمِ

Aku bersumpah dengan bulan yang terbelah bahwa

Ada sumpah yang terkabulkan pada dirinya


Dalam bait inipun terdapat penyimpangan yang amat nyata, sebab bersumpah dengan selain Allah termasuk bentuk kesyirikan.

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَِ

Dari Umar bin Khaththab bahwasanya Rasulullah bersabda: “Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka dia telah kufur atau berbuat syirik”. (HR. Ahmad 4509 dan Tirmidzi 1534)

Ibnu Abdil Barr berkata:

“Tidak boleh bersumpah dengan selain Allah untuk apapun dan bagaimanapun keadaannya, hal ini merupakan kesepakatan ulama”. Katanya juga: “Para ulama telah bersepakat bahwa bersumpah dengan selain Allah adalah terlarang, tidak boleh bersumpah dengan apapun dan siapapun”. (At-Tamhid 14/366-367)


6. Al-Bushiri berkata:

يَا أَكْرَمَ الرُّسُلِ مَا لِيْ مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ

Aku tidak memiliki pelindung Wahai rasul termulia

Selain dirimu di kala datangnya petaka

Perhatikanlah wahai saudaraku bagaimana bait ini mengandung unsur kesyirikan:

a. Dia meniadakan pelindung di saat datangnya petaka selain Nabi, padahal hal itu hanya khusus bagi Allah semata, tiada pelindung kecuali hanya Dia saja.

b. Dia berdoa dan memohon permohonan ini dengan penuh rendah diri, padahal hal itu tidak boleh diperuntukkan kecuali hanya kepada Allah saja. (Taisir Aziz Al-Hamid hal. 219-220)

Al-Allamah asy-Syaukani berkomentar tentang bait ini:

“Perhatikanlah bagaimana dia meniadakan semua pelindung kecuali hamba dan rasul Allah, Muhammad saja, dia lalai terhadap Rabbnya dan Rabb rasulnya. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un”. (Ad-Durr An-Nadhid hal. 26)

7. Al-Bushiri berkata:

فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ

Dan termasuk ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudh) dan pena.

Diantara pemberianmu adalah dunia dan akheratnya

Dalam bait ini, dia menjadikan dunia dan akherat termasuk pemberian dan milik Nabi Muhammad, padahal Allah berfirman:

Dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akherat dan dunia. (QS. Al-Lail: 13)

Adapun ucapannya “Dan termasuk ilmumu adalah ilmu lauh (mahfudh) dan pena”. Maka ini adalah ucapan yang sangat batil sekali, karena hal itu berarti bahwa Nabi mengetahui ilmu ghaib, padahal Allah berfirman:

Katakanlah: Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah. (QS. An-Naml: 65)

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. (QS. Al-An’am: 59)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

PENUTUP

Demikianlah sekelumit contoh penyimpangan yang terdapat dalam “Burdah” dan komentar seperlunya. Semoga saja hal itu cukup untuk mewakili penyimpangan-penyimpangan lainnya.

Akhirnya kami menghimbau kepada setiap muslim yang terikat dengan qasidah ini hendaknya dia meninggalkannya dan menyibukkan diri dengan kitab-kitab lainnya yang bermanfaat. Dan hendaknya diketahui bahwa hak Nabi Muhammad adalah dengan membenarkan seluruh ucapannya, mengikuti syari’atnya dan mencintainya tanpa kurang atau berlebih-lebihan.

Ya Allah! Saksikanlah bahwa kami sangat mencintai NabiMu dan membenci orang-orang yang tidak mencintai beliau!!. Ya Allah! Tetapkanlah hati kami di atas jalanMu yang lurus sehingga bertemu denganMu.


(Disadur dari Qawaidih Aqdiyyah fi Burdah Bushiri oleh Dr. Abdul Aziz bin Muhammad dan Muqaddimah Dr. Ali bin Muhammad al-Ajlan terhadap kitab Ar-Radd Ala Burdah karya Abdullah Abu Buthain).

[1] Syadziliyyah: Salah satu tarikat Sufi sesat yang populer di sebrbagai negara Islam, dan telah terpecah menjadi beberap keping. Disebut Syadziliyyah karena nisbah kepada pencetusnya Abul Hasan Ali bin Abdillah asy-Syadzili al-Maghribi yang lahir tahun 591 H di kota Aghmat (Maghrib), tumbuh di Syadzilah, sebuah kota dekat Tunis, kepadanyalah dia dinisbatkan, kemudian setelah itu dia pindah ke Mesir dan mempunyai beberapa pengikut di sana. Wafat tahun 656 H. (Lihat Al-Asrar Al-Aliyyah fi Saadah Syadziliyyah hal. 100-141 oleh Ahmad Syarif asy-Syadzili, Al-Al’lam 4/305 az-Zirakli, Mu’jam Muallifin 7/137 Kahhalah).
baca - kesirikan dalam burdah

ritual tahlilan NU

ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.

Pertanyaan, “Apa yang dikatakan oleh para mufti yang mulia di tanah haram –moga ilmu mereka manfaat untuk banyak orang sepanjang zaman– tentang tradisi yang ada di suatu daerah. Tradisi ini hanya dilakukan oleh beberapa orang di daerah tersebut. Tradisi tersebut adalah jika ada seorang yang meninggal dunia lantas datanglah kawan-kawan mayit dan tetangganya untuk menyampaikan belasungkawa maka para kawan mayit dan tetangga ini menunggu-nunggu adanya makanan yang disuguhkan. Karena sangat malu maka keluarga mayit sangat memaksakan diri untuk menyiapkan beragam jenis makanan lalu menyuguhkannya kepada para tamu meski dalam kondisi yang sangat kerepotan.

فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.

Seandainya penguasa di daerah tersebut –karena belas kasihan dengan rakyat dan sayang dengan keluarga mayit– melarang keras perbuatan di atas agar rakyatnya kembali berpegang teguh dengan sunah sebaik-baik makhluk yang pernah bersabda, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far”. Apakah penguasa tersebut akan mendapatkan pahala karena melarang kebiasaan di atas? Berilah kami jawaban secara tertulis”.

(الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده.
اللهم أسألك الهداية للصواب.

Jawaban, “Segala puji hanyalah milik Allah. Semoga Allah senantiasa menyanjung junjungan kita, Muhammad, keluarga, sahabat dan semua orang yang meniti jalan mereka. Aku meminta petunjuk untuk memberikan jawaban yang benar kepada Allah.

نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.

Betul, acara kumpul-kumpul di rumah duka dan kegiatan membuat makanan yang dilakukan oleh banyak orang adalah salah satu bentuk bid’ah munkarah. Sehingga penguasa yang melarang kebiasaan tersebut akan mendapatkan pahala karenanya. Semoga Allah meneguhkan kaidah-kaidah agama dan menguatkan Islam dan muslimin dengan sebab beliau.

قال العلامة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرح المنهاج): ويسن لجيران أهله – أي الميت – تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم،

al-’Allamah Ahmad bin Hajar dalam Tuhfah al Muhtaj li Syarh al Minhaj mengatakan, “Dianjurkan bagi para tetangga keluarga mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup untuk mengenyangkan keluarga mayit selama sehari dan semalam

للخبر الصحيح اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.

Dalilnya adalah sebuah hadits yang sahih, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka duka yang menyibukkan mereka –dari menyiapkan makanan–”

ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع.

Dianjurkan hukumnya keluarga mayit untuk agak dipaksa agar mau menikmati makanan yang telah disiapkan untuk mereka karena boleh jadi mereka tidak mau makan karena malu atau sangat sedih.

ويحرم تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية،

Haram hukumnya menyediakan makanan untuk wanita yang meratapi mayit karena tindakan ini merupakan dukungan terhadap kemaksiatan

وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك،

Kebiasaan sebagian orang berupa keluarga mayit membuat makanan lalu mengundang para tetangga untuk menikmatinya adalah bid’ah makruhah. Demikian pula mendatangi undangan tersebut termasuk bid’ah makruhah.

لما صح عن جرير رضي الله عنه: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.

Dalilnya adalah sebuah riwayat yang sahih dari Jarir, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”.

ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن.

Alasan logika yang menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk niyahah adalah karena perbuatan tersebut menunjukkan perhatian ekstra terhadap hal yang menyedihkan

ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.اه.

Oeh karena itu, makruh hukumnya keluarga mayit berkumpul supaya orang-orang datang menyampaikan bela sungkawa. Sepatutnya keluarga mayit sibuk dengan keperluan mereka masing-masing lantas siapa saja yang kebetulan bertemu dengan mereka menyampaikan bela sungkawa.” Sekian penjelasan dari penulis Tuhfah al Muhtaj.

وفي حاشية العلامة الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك.اه.

Dalam Hasyiyah al Jamal untuk kitab Syarh al Manhaj disebutkan, “Termasuk bid’ah munkarah dan makruhah adalah perbuatan banyak orang yang mengungkapkan rasa sedih lalu mengumpulkan banyak orang pada hari ke-40 kematian mayit. Bahkan semua itu hukumnya haram jika acara tersebut dibiayai menggunakan harta anak yatim atau mayit meninggal dunia dalam keadaan meninggalkan hutang atau menimbulkan keburukan dan semisalnya.” Sekian dari Hasyiyah al Jamal.

وقد قال رسول الله (صلى الله عليه و سلم ) لبلال بن الحرث رضي الله عنه: يا بلال من أحيا سنة من سنتي قد أميتت من بعدي، كان له من الاجر مثل من عمل بها، لا ينقص من أجورهم شيئا.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal bin al Harts, “Wahai Bilal, siapa saja yang menghidupkan salah satu sunahku yang telah mati sepeninggalku maka baginya pahala semisal dengan pahala semua orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka.

ومن ابتدع بدعة ضلالة لا يرضاها الله ورسوله، كان عليه مثل من عمل بها، لا ينقص من أوزارهم شيئا.

Sebaliknya siapa saja yang membuat bid’ah yang sesat yang tidak diridhai oleh Allah dan rasul-Nya maka dia akan menanggung dosa semisal dosa semua orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”.

وقال (صلى الله عليه و سلم ): إن هذا الخير خزائن، لتلك الخزائن مفاتيح، فطوبى لعبد جعله الله مفتاحا للخير، مغلاقا للشر.وويل لعبد جعله الله مفتاحا للشر، مغلاقا للخير.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kebaikan itu bagaikan simpanan. Simpanan tersebut memiliki kunci. Sungguh beruntung seorang hamba yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka kebaikan dan penutup kejelekan. Celakalah seorang hamba yang dijadikan oleh Allah sebagai kunci pembuka kejelekan dan kunci penutup kebaikan”.

ولا شك أن منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما. والله سبحانه وتعالى أعلم.

Tidaklah diragukan bahwa melarang masyarakat dari bid’ah munkarah di atas berarti menghidupkan sunah dan mematikan bid’ah, membuka berbagai pintu kebaikan dan menutup berbagai pintu keburukan. Banyak orang yang terlalu memaksakan diri untuk melakukan acara di atas sehingga menyebabkan perbuatan tersebut statusnya adalah perbuatan yang haram”.

كتبه المرتجي من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان – مفتي الشافعية بمكة المحمية – غفر الله له، ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين.

Demikianlah fatwa tertulis yang ditulis oleh Ahmad bin Zaini Dahan, mufti Syafi’i di Mekkah. Moga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya, para gurunya dan seluruh kaum muslimin.

(الحمد لله) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون.

Segala puji hanyalah milik Allah. Kepada zat yang memberi nikmat untuk seluruh makhluk aku-mufti Hanafi-memohon taufik dan pertolongan-Nya.

نعم، يثاب والي الامر – ضاعف الله له الاجر، وأيده بتأييده – على منعهم عن تلك الامور التي هي من البدع المستقبحة عند الجمهور.

Betul, penguasa tersebut- moga Allah berikan kepadanya pahala yang berlipat ganda dan moga Allah selalu menolongnya- akan mendapatkan pahala dengan melarang masyarakat melakukan acara tersebut yang berstatus sebagai bid’ah yang jelek menurut mayoritas ulama.

قال في (رد المحتار تحت قول الدر المختار) ما نصه: قال في الفتح: ويستحب لجيران أهل الميت، والاقرباء الاباعد، تهيئة طعام لهم يشبعهم يومهم وليلتهم، لقوله (صلى الله عليه و سلم ): اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي، وصححه الحاكم.

Penulis kitab Radd al Muhtar yang merupakan penjelasan untuk kitab al Durr al Mukhtar mengatakan sebagai berikut, “Dalam kitab al Fath disebutkan, dianjurkan bagi para tetangga keluarga mayit dan kerabat jauh mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup untuk mengenyangkan mereka selama sehari dan semalam mengingat sabda Nabi, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka duka yang menyibukkan mereka-dari menyiapkan makanan-”. Hadits ini dinilai hasan oleh Tirmidzi dan dinilai sahih oleh al Hakim.

ولانه بر ومعروف،

Menyediakan makanan untuk keluarga mayit adalah kebaikan.

ويلح عليهم في الاكل، لان الحزن يمنعهم من ذلك، فيضعفون حينئذ.

Hendaknya keluarga mayit agak dipaksa untuk menikmati makanan yang disediakan untuk mereka karena kesedihan menghalangi mereka untuk berselera makan sehingga mereka malas untuk makan”.

وقال أيضا: ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت، لانه شرع في السرور، وهي بدعة.

Penulis Radd al Muhtar juga mengatakan, “Makruh hukumnya bagi keluarga mayit untuk menyajikan makanan karena menyajikan makanan itu disyaratkan ketika kondisi berbahagia. Sehingga perbuatan keluarga mayit menyajikan makanan adalah bid’ah.

روى الامام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح، عن جرير بن عبد الله، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih dari Jari bin Abdillah mengatakan, “Kami menilai berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas keluarga mayit membuatkan makanan adalah bagian dari niyahah atau meratapi jenazah”. Sekian penjelasan penulis kitab Radd al Muhtar-kitab fikih mazhab Hanafi-.

وفي البزاز: ويكره اتخاذ الطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع، ونقل الطعام إلى القبر في المواسم إلخ.

Dalam kitab al Bazzaz disebutkan, “Makruh hukumnya membuat makanan pada hari pertama, ketiga dan ketujuh setelah kematian. Demikian pula, makruh hukumnya membawa makanan ke kuburan di berbagai kesempatan dst”.

وتمامه فيه، فمن شاء فليراجع. والله سبحانه وتعالى أعلم.

Penjelasan detailnya ada di kitab tersebut. Siapa saja yang ingin penjelasan lengkap silahkan membaca sendiri buku tersebut. Wallahu a’lam.

كتبه خادم الشريعة والمنهاج: عبد الرحمن بن عبد الله سراج، الحنفي، مفتي مكة المكرمة – كان الله لهما حامدا مصليا مسلما.

Demikianlah fatwa tertulis yang disampaikan oleh pelayan syariat dan minhaj Islam, Abdurrahman bin Abdillah Siraj al Hanafi, mufti Mekkah seraya memuji Allah, dan mengucapkan salawat dan salam untuk rasul-Nya.

وقد أجاب بنظير هذين الجوابين مفتي السادة المالكية، ومفتي السادة الحنابلة.

Fatwa yang sama juga disampaikan oleh mufti Maliki dan mufti Hanbali”.

Sumber: Hasyiyah I’anah al Thalibin karya Sayid Bakri bin Dimyati al Mishri juz 2 hal 145-146 terbitan al Haramain Singapura.

Catatan:
Bandingkan penjelasan di atas dengan praktek saudara-saudara kita, jamaah NU yang hanya mengenal NU secara kultural bukan secara ajaran sebagaimana yang tercatat dalam kitab-kitab NU standar.

Perlu diketahui bahwa Zaini Dahlan adalah ulama syafi’iyyah di zamannya yang sangat benci dan sangat memusuhi apa yang didakwahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam masalah tauhid. Meski demikian beliau keras dengan masalah tahlilan. Beliau menilai acara tahlilan sebagai bid’ah munkarah alias bid’ah yang harus diberantas atau diingkari. Beliau tidak menilai ritual tahlilan sebagai ajaran Wahabi yang sangat beliau musuhi. Sehingga anggapan bahwa anti tahlilan hanyalah pemahaman Wahabi adalah anggapan yang sangat dipaksakan dan terlalu mengada-ada.

Zaini Dahan ternyata tidak menolerir acara tahlilan dengan alasan sikap arif terhadap budaya lokal. Bahkan beliau menegaskan bahwa memberantasnya adalah amalan yang berpahala. Bandingkan dengan sikap banyak orang NU yang menolak kebenaran dengan alasan sikap arif dengan budaya lokal, meneladani dakwah Sunan Kalijaga padahal model dakwah Sunan Kalijaga sendiri ditentang oleh mayoritas wali songo, Sunan Bonang yang merupakan guru ngaji Sunan Kalijaga, Sunan Giri dll.

Berdasarkan penjelasan mufti Hanafi di atas acara tahlilan adalah bid’ah yang harus diberantas menurut mayoritas ulama.
baca - ritual tahlilan NU

bulan sabit

Oleh Ustadz Aris Munandar

Hukum Tanda Bulan Sabit yang Terletak di Menara Adzan

تسائلنا مع بعض العمال والوافداين الى بلادنا فى موضوع الأهله التى توضع على المآذن (المنائر)كيف وضعها فى بلادهم فاجابوا قائلين إنها توضع فى بلادنا على معابد النصارى وقباب القبور المعضمة افتونا جزاكم الله خيرا والحالة هذه عن وضعها على مآذن مساجد المسلمين؟

Teks pertanyaan, “Kami berdiskusi bersama para pekerja yang didatangkan ke negeri kami tentang bulat sabit yang diletakkan di menara masjid di negeri kami. Bagaimana dengan kondisi di negeri mereka. Jawaban mereka simbol bulan di negeri mereka diletakkan di gereja dan kubah kubur-kubur yang diagungkan. Setelah mengetahui kondisi di atas berilah kami fatwa mengenai hukum meletakkan simbol bulan sabit di menara adzan masjid-masjid kaum muslimin”.

أما وضع الهلال على القبور المعظمة فقد ذكر الشيخ عبد اللطيف بن عبد الرحمن بن حسن عن شيخ الاسلام ابن تيمية -رحمهم الله-10/243 من الدررالسنية مانصها:

Jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, “Mengenai meletakkan simbol bulan sabit pada kubah kubur-kubur yang diagungkan pernah dibahas oleh Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman bin Hasan dalam al Durar al Saniyah jilid 10 hal 243 dengan mengutip pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagaimana berikut ini:

“وعمار مشاهد المقابر يخشون غير الله،ويرجون غير الله ،جتى إن طائفة من ارباب الكبائر الذين لا يتحاشون فيما يفعلونه من القبائح إذا راى أحدهم قبة الميت ،أو الهلال الذى على رأس القبة خشى من فعل الفواحش ،ويقول أحدهم لصاحبه :ويحك هذا هلال القبة .فيخشون المدفون تحت الهلال ،ولايخشون الذى خلق السموات والأرض وجعل أهلة السماء مواقيت للناس والحج)أنتهى

Orang-orang yang memakmurkan kubur merasa takut kepada selain Allah dan menggantungan harapan kepada selain Allah sampai-sampai sejumlah pelaku maksiat yang sudah tidak lagi sungkan-sungkan untuk melakukan berbagai keburukan ketika melihat kubah yang dibangun di atas kubur atau simbol bulan sabit yang berada di atas kubah kubur mereka merasa takut untuk melakukan kemaksiatan. Salah satu mereka berkata kepada kawannya, ‘Celaka, ada tanda bulan sabit di atas kubah makam’. Mereka merasa takut terhadap mayit yang dimakamkan di bawah tanda bulan sabit namun mereka tidak merasa takut kepada pencipta langit dan bumi. Dialah zat yang menjadikan bulan sabit sebagai tanda waktu untuk manusia dan untuk pelaksanaan ibadah haji. Sekian kutipan dari al Durar al Saniyah.

وأما وضع الهلال على معابد النصارى فليس ببعيد لكن قد قيل :إنهم يضعون على معابدهم الصلبان والله أعلم

Adanya tanda bulan sabit di gereja bukanlah suatu yang mustahil. Namun ada yang mengatakan bahwa orang-orang nasrani meletakkan tanda salib pada gereja-gereja mereka.

لكن وضع الأهلة على المنابر كان حادثا فى أكثر أنحاء المملكة وقد قيل :إن بعض المسلمين الذين قلدوا غيرهم فيما يصنعونه على معابدهم وضعوا الهلال بإزاء وضع النصارى الصليب على معابدهم ،كما سمو دور الإسعافات الأسعافات للمرضى (الهلال الأحمر )بإزاء تسمية النصارى لها ب(الصليب الأحمر)

Adanya tanda bulan sabit di menara masjid adalah realita di berbagai penjuru KSA. Ada yang menjelaskan bahwa sebagian kaum muslimin yang suka meniru perbuatan orang nasrani di gereja-gereja mereka memasang tanda bulan sabit sebagai saingan bagi orang-orang nasrani yang memasang salib di gereja-gereja mereka. Hal ini persis dengan penamaan bulan sabit merah untuk tempat pertolongan pertama bagi orang-orang yang sakit sebagai saingan untuk istilah palang merah milik orang-orang nasrani.

وعلى هذا فلا ينبغى وضعة الأهلة على رؤوس المنارات من أجل هذه الشبهة ،ومن اجل إضاعة المال والوقت أنتهى

Berdasarkan uraian di atas maka tidak sepantasnya memasang tanda bulan sabit di puncak menara masjid menimbang
a. asal muasalnya yaitu meniru adanya tanda salib di gereja.
b, pemasangan tanda hilal di menara masjid hanya buang-buang harta dan waktu”.

Sumber:
Majmu Fatawa wa Rasail Muhammad bin Shalih al Utsaimin jilid 16 hal 177-178 terbitan Dar al Tsuraya Riyadh cetakan kedua 1426 H.

Ibnuramadan.wordpress.com
baca - bulan sabit